Ratusan Praja IPDN, Simak Khutbah ‘Id Guru Besar UIN Mataram

Prof. Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag (Guru Besar Universitas Islam Negeri Mataram).
 

Ahad pagi (10 Juli 2022) suara takbir, tahmid dan tahlil menggema di masjid Daarul Ma’arif IPDN Kampus NTB di Praya Lombok Tengah.  Ratusan Praja yang berasal dari seluruh wilayah Republik Indonesia telah berkumpul sejak pukul 06.00 pagi guna menunaikan Shalat ‘Idul Adha. Yang bertindak selaku imam sekaligus khatib adalah Prof. Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag (Guru Besar Universitas Islam Negeri Mataram).

BidikNews - Di hadapan unsur pimpinan yang turut hadir dan civitas akademika IPDN, guru besar UIN Mataram tersebut menyampaikan khutbah dengan tema “Keteladanan Keluarga Ibrahim AS untuk Penguatan Religiusitas di Era Kontemporer”.

Mengawali khutbahnya, beliau menyampaikan salah satu nikmat yang sama-sama kita peroleh saat ini adalah sudah hampir selesai wabah Covid-19, karena itu, patutlah kita semua memanjatkan puja dan puji syukur kita kepada Allah swt yang telah melimpahkan kepada kita banyak sekali nikmat yang besar, terutma iman Islam dan kesehatan. Dan sebagai ungkapan rasa syukur, kita berkumpul di tempat ini dengan hati yang tunduk dan penuh khusyu’ untuk memuji kebesaran Allah Swt sambil meneguhkan komitmen untuk senantiasa meningkatkan ketaqwaan di sisi Allah Swt.

Guru besar dalam bidang Ilmu Keislaman tersebut selanjutnya merilis suatu riwayat yang menunjukkan keagungan hari raya ‘Idul Adha ini. Dalam sebuah hadits diceritakan; ketika Rasulullah berkhutbah id, tiba-tiba beliau bertanya,  “Bulan apa sekarang?” “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu?” jawab para sahabat. Nabi diam beberapa saat sehingga para sahabat menduga, jangan-jangan beliau akan menyebut nama yang bukan nama sebenarnya. “Tidakkah ini bulan Dzulhijjah?” tanya beliau memecah kesunyian.” “Ya,” jawab sahabat. “Negeri apa ini?” beliau bertanya lagi. “Bukankah ini negeri haram (mulia)?” kata beliau. “Ya,” jawab sahabat. “Hari apakah ini?”, “Tidakkah ini hari penyembelihan (qurban)?”  tandas beliau. “Ya,” jawab para sahabat. Beliau bersabda, “Sungguh darah, harta dan kehormatan kalian adalah barang terlarang (untuk dilanggar) bagi kalian sebagaimana terlarangnya (maksudnya: mulianya) hari kalian ini, di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini. Sungguh kalian bakal menghadap pada Tuhan kalian, lalu Dia akan menanyai kalian mengenai amal perbuatan kalian.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Berdasarkan riwayat di atas, menurut Guru besar UIN Mataram ini, Idul Adha benar-benar hari yang besar dan mulia. Ini bukan hari biasa, seperti hari-hari lainnya. Maka mari kita coba rasakan kebesarannya, kewibawaannya, dan kemuliaannya. Kebesaran hari itu mestinya membawa dampak pada perilaku kita. Merasakan kebesarannya mendorong kita tertunduk malu di hadapan Allah atas pelanggaran-pelanggaran yang mungkin kita lakukan selama ini, sebagai sebuah refleksi. Meskipun kebesaran dan kemuliaan Idul Adha seolah tak terasa karena acapkali mereka yang mengabaikan perintah tetap saja tak peduli dengan perintah Allah.  Padahal ini adalah momentum intropeksi, sebagaimana kaum muslimin yang sedang wukuf di Arafah.

Khatib mengajak agar keteladanan Nabi Ibrahim dan keluarganya dapat menjadi inspirasi bagi kehidupan dewasa ini. Beliau adalah Nabi yang telah lolos banyak ujian sehingga Allah jadikan sebagai Panutan (Imaman) seorang yang loyal dan berintegritas- yang kemudian patut menjadi pembelajaran untuk semua elemen generasi ummat ini. Sebagaimana tertuang dalam ayat :

Ingatlah saat Nabi Ibrahim diuji dengan beberapa kalimat, kemudian Nabi Ibrahim dapat memenuhi dan menjalankan dengan baik semua kalimat itu. Allah Berfirman: Saya menjadikanmu sebagai panutan bagi seluruh manusia. Nabi Ibrahim memohon juga dari keluargaku? Allah Menjawab: Janji Allah tidak akan pernah berpihak kepada orang yang zhalim. (QS. Al-Baqarah: 124).

Nabi yang bergelar khalilullah ini diuji oleh Allah dengan perintah untuk hijrah dengan membawa Ismāʿīl dan ibunya ke padang pasir yang gersang. Tetapi karena ini perintah Allah, Siti Hajar dengan ikhlas menerimanya. Hingga kemudian Allah kemudian menganugerahi mereka mata air zam-zam, yang muncul dari kaki Ismāʿīl saat ibunya berada di ujung kelelahan mencari air di sekitar nya. Ujian berikutnya,  Nabi Ibrahim diuji dengan raja yang zalim, yang menghukum semua orang yang tidak patuh terhadap perintahnya. Nabi Ibrahim dapat menjalani ujian berat ini dengan mengedepankan logika kecerdasannya yang sangat rasional dan argumentatif pada saat berdialog dengan raja Namrud. Inilah sosok Ibrahim yang kuat prinsipnya, tetap tegak dan teguh pendiriannya dengan ideologi yang diyakininya. Dan yang paling fenomenal adalah Nabi Ibrāhīm as juga diuji dengan perintah untuk mengorbankan anak kesayangannya.


Maka tatkala anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (Ash-Shaffat: 102).

Di tengah pelaksanaan kurban akan dilakukan, Allah kemudian menggantinya dengan seekor domba. Nabi Ibrāhīm pun dipuji oleh Allah sebagai hamba yang muhsin dan mukmin.

Pada bagian refleksi atas peristiwa tersebut Guru Besar UIN dan juga dikenal sebagai Ustadz yang murah senyum itu menyitir pandangan cendekiawan muslim Ali Syari’ati yang memaknainya sebagai peristiwa simbolistik. Yakni pada dasarnya semua orang bisa saja berperan sebagai Ibrahim yang memiliki Ismail. 

Ismail yang kita miliki dapat berwujud sebagai anak, isteri, harta benda, kekayaan, property, pangkat, jabatan, alias segala apa yang kita cintai dan sayangi, yang kita dambakan selama ini. Ismail-ismail yang kita miliki itu, kadang dan bahkan tidak sedikit membuat kita terlena dan lalai serta terbuai dari gemerlapan duniawi yang menyebabkan menabrak ketentuan moral, etika dan agama. 

Saatnya refleksi idul qurban kali ini kita ditunutu mampu menyembelih nafsu-nafsu serakah atau menyembelih “Ismail-Ismail” kecil tersebut. Yang dikorbankan bukan manusia, bukan pula kemanusiaan. 

Namun yang dikorbankan adalah binatang, yang sempurna lagi tidak cacat, sebagai indikasi agar sifat-sifat kebinatangan yang sering bercokol pada diri kita harus dienyahkan serta dibuang jauh-jauh seperti sifat mau menang sendiri walau dengan menginjak-injak hak orang lain, ingin berkuasa dengan cara yang tidak benar, sifat sombong, tidak mau dikritik, tidak mau mendengar nasihat dan lain sebagainya.

Pada bagian inti khutbahnya, Prof. Amir Aziz menyampaikan 3 pesan utama dari hikmah ‘Idul Adha.
Pertama: Pentingnya Keimanan dan Kesabaran. Jika iman kita kuat maka tak akan pernah goyah dengan cobaan apapun, termasuk godaan pornogafi dan narkoba, yang kini tindak kunjung surut pengaruhnya di tengah masyarakat termasuk generasi milineal. Maka pupuklah iman kita ini dengan banyak beribadah, berzikir, beramal shaleh, dan menambah wawasan keislaman sebagai nutrisi rohani yang harus kita penuhi. 

Keberhasilan nabi Ibrahim As dalam menempuh ujian demi ujian itu sangat ditentukan oleh sifat dan sikap kesabaran beliau bersama anggota keluarganya. Ini patut menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa sebesar apapun cobaan itu pasti Allah memberikan jalan keluar dan kemenangan bagi siapa saja yang tahan uji. Sang ayah sebagai figure teladan, sang ibu menjdi pengayom, dan sang anak yang patuh setia dan mengedepankan sikap yang dewasa.  

Betapa banyak orang yang biasa-biasa hidupnya, tapi dengan penuh kesabaran dan konsolidasi internal keluarganya yang kokoh dan dibalut religiusitas yang tinggi, kesederhanaan itu justru menghasilkan banyak prestasi diantara generasi mudanya.


Prof. Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag bersama dengan jamaah usai sholat dan khutbah Id

Kedua:
Harkat dan Martabat Manusia. Peristiwa Nabi Ibrahim as,  juga mengandung ‘ibrah bahwa Allah menjunjung tinggi harkat, martabat dan jiwa manusia, sehingga sama sekali tidak memperkenankan manusia dijadikan sasaran kurban, pembantaian, ataupun tumbal. Islam tidak pernah mentolerir praktek-praktek kekerasan, kebrutalan, dan penindasan dalam bentuk apapun. Intinya kejahatan kemanusiaan secara tegas dilarang Al-Qur’an, tak ubahnya seperti pelanggaran HAM sekarang ini.  

Dengan menangkap pesan dari peristiwa besar yang tidak ada duanya dan tidak akan terulang kedua kalinya dalam sejarah umat manusia itu, dapat disinyalir bahwa Muslim sejati adalah yang memiliki kecintaan dan kepatuhan mutlak kepada Allah dan juga menghargai nilai-nilai kemanusiaan, bersikap obyektif, dan tidak diskriminatif.

Ketiga: Berjiwa Sosial dan Saling Support. Perjuangan Nabi Ibrahim As dan putranya, Nabi Ismail As hendaknya juga dapat dijadikan sarana introspeksi diri atas ketaatan kita, untuk selanjutnya ritualitas kurban diharapkan mampu membentuk karakter kepribadian kita sebagai manusia yang peka terhadap lingkungan dan masyarakat sekeliling, sebagai manusia yang gemar berkorban dan mengulurkan tangan kepada mereka yang lemah.

Tepatlah apabila perayaan Idul Adha digunakan menggugah semangat kita untuk berkorban bagi negeri kita tercinta yang membutuhkan support masyarakat dan dukungan  para stakeholder. Krisis moral yang terus terjadi, beban ekonomi masyarakat yang cukup berat, konflik antar kelompok, merebaknya hoax dan ujaran kebencian yang terus menyebar, merupakan tantangan yang harus kita hadapi bersama.  


Kita dituntut untuk berkontribusi di dalamnya, sesuai kapasitas dan kedudukan masing-masing. Kita tidak lagi bisa hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, sebaliknya untuk kepentingan bangsa dan negara yang harus dikedepankan. Pengorbanan untuk kepentingan orang banyak tidaklah mudah, berjuang dalam rangka mensejahterahkan umat memang memerlukan keterlibatan semua pihak.

Dikahir Khutbanya Guru besar Universitas Negeri Mataram ini berharap semoga kita semua mampu menjadi orang yang bertakwa yang sanggup berkorban demi kemajuan bersama. Terakhir, kesuksesan keluarga Nabi Ibrahim hendaknya menjadi inspirasi bagi keluarga-keluarga milineal. Satu syarat mutlaknya adalah adanya saling support antara ayah, ibu dan anak. Keluarga seperti ini akan bisa responsive terhadap tuntutan dan tantangan zaman dengan tetap berakar kuat pada nilai keagamaan.

Dalam konteks luas, saling support sistem diantara pengelola lembaga pendidikan, civitas akademika, dan para stakeholder akan sangat berpengaruh untuk mencapai kesuksesan bersama.

Pewarta : Tim BidikNews
Editor    : BN-007



0 Komentar