Sebagai “Wakil Tuhan” Banyak Oknum Hakim yang Dijerat Hukum


Katanya, hakim adalah wakil Tuhan. Setiap putusan hakim wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”  (Pasal 2 Ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Pokok -Pokok Kekuasaan Kehakiman). 
Tanpa irah-irah tersebut, putusan hakim tak punya nilai apa-apa.

BidikNews, Mataram - Artinya, hakim dalam mengemban amanatnya, tidak sekedar bertanggungjawab pada hukum, pada dirinya sendiri, atau pada pencari keadilan, tetapi juga mutlak harus bertanggungjawab kepada Tuhan Sang pencipta dan pemilik hukum. Hakim hakikatnya hanyalah kepanjang-tanganan Tuhan, untuk menetapkan sebuah hukum.

Bagaimana dengan hakim di Indonesia..? Catatan buran prilaku oknum hakim di Indonesia sering mewnghiasi media masa yang dinilai telah mencoreng nama besar hakim sebagai manusia pengadil di Bumi.

Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati sebagai tersangka korupsi, tepatnya dugaan suap terkait pengurusan perkara di MA, pada Jumat (23/9/2022).

Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya setelah KPK lakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menyita uang dari dua tersangka, yakni Kepaniteraan MA Desy Yustria dan PNS MA Albasri.

Penangkapan dan penetapan tersangka Hakim Agung Sudrajad tersebut menambah panjang daftar hakim yang terjerat kasus korupsi.

Pada awal tahun 2022 ini, tepatnya 20 Januari 2022, KPK menetapkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Itong Isnaini Hidayat sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara di PN Surabaya.

Hakim pertama yang terseret kasus korupsi adalah hakim PN Jakarta Selatan Herman Allositandi. Dia ditangkap pada Januari 2006. 

Herman dinyatakan terbukti melakukan penyalahgunaan jabatan karena memeras saksi perkara korupsi di PT Jamsostek. Ia lantas diganjar dengan pidana penjara 4,5 tahun dan denda Rp 200 juta.

Foto: Repro BidikNews

Lalu, pada 2 Oktober 2013, KPK menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melaui OTT.  Akil kemudian dinyatakan terbukti bersalah menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Majelis hakim menjatuhkan vonis seumur hidup kepada Akil saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta 30 Juni 2014.

Pada 25 Januari 2017, KPK menangkap Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Ia diduga menerima suap terkait perkara uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dugaan KPK dinyatakan terbukti oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Ia dijatuhi pidana penjara 8 tahun, dan denda Rp300 juta. Patrialis juga dijatuhi pidana pengganti sesuai dengan jumlah uang suap yang diterimanya senilai 10.000 dollar Amerika dan Rp 4.043.000.

Berikut deretan panjang hakim-hakim di Indonesia yang pernah terseret kasus korupsi dan suap menyuap berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2012 hingga 2019 yakni:

1. Kartini Marpaung, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang. Kartini diduga menerima suap Rp 150 juta terkait kasus dugaan korupsi biaya perawatan mobil dinas Kabupaten Grobogan yang melibatkan ketua DPRD Kabupaten Grobogan nonaktif, M Yaeni.

2. Heru Kisbandono, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak. 

3. Pragsono, hakim Pengadilan Tipikor Semarang.

4. Asmadinata, hakim ad hoc Pengadilan TipikorPalu. Dia dinilai telah melakukan pelanggaran berat atas perbuatan tercela menerima suap.

5. Setyabudi Tejocahyono, Wakil Ketua PN Bandung. Ia diduga menerima suap Rp 150 juta terkait kasus suap bantuan sosial (bansos) di Bandung. 

6. Ramlan Comel, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung. Ramlan diduga terlibat suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung.

7. Pasti Serefina Sinaga, hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Terlibat suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung. 

8. Amir Fauzi, hakim PTUN Medan. Menerima suap dari pengacara OC Kaligis dalam perkara PTUN tentang korupsi bansos Medan Tahun 2015. 

9. Dermawan Ginting, hakim PTUN Medan. Menerima suap dari pengacara OC Kaligis dalam perkara PTUN tentang korupsi bansos Medan Tahun 2015.

10. Tripeni Irianto Putro, Ketua PTUN Medan. Menerima suap dari pengacara OC Kaligis dalam perkara PTUN tentang korupsi bansos Medan Tahun 2015. 

11. Janner Purba, Ketua PN Kepahiang. Terlibat suap terkait perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan honor dewan pembina RSUD M Yunus di Bengkulu. 

12. Toton, hakim PN Kota Bengkulu. Terlibat suap terkait perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan honor dewan pembina RSUD M Yunus di Bengkulu.

13. Dewi Suryana, hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu. Menerima suap sebesar Rp125 juta untuk meringankan putusan terhadap Wilson selaku Pelaksana Tugas kepala Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Kota Bengkulu. 

Foto : Repro BidikNews

14. Sudiwardono, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara. Terlibat suap terkait perkara banding dengan terdakwa Marlina Mona Siahaan selaku Bupati Bolaang Mongondow periode 2001-2006 dan 2006-2015. 

15. Merry Purba, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Medan. Diduga menerima total 280.000 dollar Singapura terkait putusan untuk terdakwa Tamin Sukardi.

16. Wahyu Widya Nurfitri, hakim Pengadilan Negeri Tangerang. Ia terlibat suap terkait gugatan perdata wanprestasi. 

17. Iswahyu Widodo, hakim PN Jakarta Selatan. Diduga menerima suap terkait penanganan perkara perdata. 

18. Irwan, hakim PN Jakarta Selatan. Diduga menerima suap terkait penanganan perkara perdata di PN Jakarta Selatan. 

19. Lasito, hakim PN Semarang. Terlibat kasus suap yang melibatkan Bupati Jepara. 

20. Kayat, hakim PN Balikpapan. Terlibat kasus suap untuk memengaruhi putusan.

Bagi seluruh rakyat Indonesia, profesi Hakim adalah profesi yang mulia. Di sisi lain, hakim adalah profesi yang sangat beresiko. Saking mulianya, hanya hakim yang berhak mendapat gelar “Yang Mulia”. Tidak ada pejabat lain yang berhak, bahkan presiden sekalipun. 

Dan saking beresikonya, disebutkan ada tiga tipikal hakim. Dari ketiganya, dua masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, serta memutus dengan kebenaran. 

Foto : Repro BidikNews

Sedangkan dua tipe hakim tersisa, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran, namun tidak memutus dengan kebenaran dan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutus dengan ketidak-benaran itu, ditambah lagi nafsu serakah akan harta dunia maka nerakalah yang siap melahap mereka.

Hakim adalah benteng terakhir penegakan hukum. Sejak disumpah, diubun-ubunnya telah dipatrikan tulisan secara tegas, “keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit runtuh”. Ini kodrat hakim.

Memang, sejatinya hakim adalah profesi mulia. Namun fenomena suap di di peradilan hokum di Indonesia seolah-olah menggugat status itu: apakah hakim masih pantas disebut wakil Tuhan? Atau jangan-jangan lebih tepat disebut wakil setan? Bukankah hakim saat ini justeru berperan sebagai perusak hukum?

Tidak. Opini tidak boleh digiring serampangan seperti itu. Perbuatan oknum tertentu tidak boleh diidentikkan dengan organisasi induk. Tidak boleh ada tuduhan seperti itu. Setiap kelompok masyarakat, suku, instansi, atau korps apapun pasti ada oknum yang menyimpang dari idealitas. Satu hal yang terpenting: mudah-mudahan saja oknum nakal di korps hakim tidak terlalu banyak.

Hakim sebagai korps akan tetap sebagai berperan sebagai wakil Tuhan. Sampai kapan pun. Bukan wakil setan. Salah satu perlambang hakim adalah simbol kartika, yang berarti setiap putusan hakim akan diper-  tanggungjawabkan pada Tuhan Yang Maha Adil. 

Adapun terkait oknum hakim yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terserah publik akan menjuluki apa: wakil setan, atau bahkan wakil iblis sekalipun, tidak jadi soal.

Kawal Martabat Hakim

Hakim telah memiliki Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Pelaksana pengawasan hakim, juga telah ada. Sudah lengkap. Paket komplit. Ini semata bertujuan untuk menjaga dan menegakkan marwah hakim.

KEPPH tersebut memuat sepuluh prinsip dasar beserta butir penjabarannya. Sepuluh prinsip dasar itu adalah: 1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4. Bersikap mandiri, 5. Berintegritas tinggi, 6. Bertanggungjawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisiplin tinggi, 9. Berperilaku rendah hati, dan 10. Bersikap professional.

Kembali ke Nurani

Ada sebuah hadits, yang merupakan inti pedoman perilaku bagi seluruh umat manusia, apapun agamanya. Yang diriwayatkan [H.R. Ahmad dan al-Darimi]. Artinya: Mintalah fatwa pada nuranimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.

Foto : Repro BidikNews

Hadits tersebut cukup sederhana, tegas, dan lugas. Untuk mengetahui dan mengontrol perilaku manusia, cukup tanyakan pada nurani. Nurani akan menuntun manusia pada jalan kebenaran; jalan yang diridhoi Tuhan.

Inilah senjata pamungkas, paling ampuh, paling mungkin diterapkan untuk mencegah perilaku koruptif. KEPPH, Badan Pengawasan Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial masih bisa ditipu. Dikibuli. Diakali. Tapi kalau nurani, dia tidak akan pernah bohong,. Juga tidak akan dapat dibohongi.

Ketika ada tanda-tanda rayuan untuk bertindak korupsi, hakim harus segera konfirmasi pada nurani. Nuranilah yang akan membimbing pada jalan Tuhan. Bahkan nurani orang terjahat di dunia pun, penulis yakin, dia akan mengatakan bahwa korupsi itu merupakan tindakan salah. Tindakan keji. Tindakan yang akan membuat hati gelisah. Tidak mungkin, seorang hakim yang baru saja menerima suap, lantas ia update status di media sosial, “Syukur pada Ilahi, dapat suap 100 juta. Jadi tenang hati ini”. Mustahil.

Seluruh hakim di Indonesia, wajib berkiblat ke nurani. Kecerdasan nurani, atau dalam konteks kekinian disebut sebagai kecerdasan spiritual, merupakan inti dari segala kecerdasan yang ada. Nurani tentu berkait dengan ajaran luhur setiap agama. Nurani pasti akan mengingatkan hakim untuk senantiasa menjaga amanatnya, untuk mewakili Tuhan.

Kepercayaaan dan Harapan

Di penghujung dunia peradilan yang semakin semrawut ini, masih tersisa dua hal: kepercayaan dan harapan. Kepercayaan adalah kekuatan besar untuk mewujudkan cita-cita. Kepercayaan publik, atas profesinalisme hakim, tentu sangat mensupport hakim untuk memberi hukum yang berkeadilan.

Sedangkan harapan terwujudnya peradilan Indonesia yang agung, adalah alasan primer bagi penegak hukum untuk berbuat lebih baik. Lebih profesianal. Lebih bersih. Lebih transparan. Lebih berkeadilan. Juga lebih “meghadirkan” Tuhan dalam setiap putusannya.

Semoga penegak hukum di Indonesia, khususnya hakim, senantiasa berpegang teguh pada nurani. Sehingga praktek-praktek perilaku koruptif yang dapat menjungkalkan keadilan, dapat segera sirna dari bumi pertiwi ini. Semoga hakim indonesia, seluruhnya, seutuhnya, tetap pantas menyandang gelar wakil Tuhan. Semoga. dari berbagai sumber

Pewarta : Dae Ompu


0 Komentar