Andai Se-Serius Kita Makan


Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

Kolom Hikmah ini tidak mengajak para pembaca membayangkan tempat makan yang aduhai, menu makan yang memanjakan lidah, dan tidak pula mengajak pembaca untuk larut kepada tekstur dan rasa makanan. Lalu apa pesan yang ingin disampaikan penulis? Berikut BidikNews melaporkan.

MAKAN sebagai suatu aktivitas primer dalam memenuhi bukan saja kebutuhan fisik, namun berimplikasi kepada seluruh aktivitas termasuk psikis semisal berpikir dalam arti produksi ide dan gagasan. Bagi kebanyakan kita, ritual makan menjadi aktivitas yang sangat serius di setiap waktu makan, bahkan menjadi ritual yang diperhatikan. Lihat saja bagaimana kita memilih tempat makan, memilih menu, hingga saat menikmati setiap suapan, semuanya dijalani dengan serius.

Sebagai bukti keseriusan kita dalam aktivitas makan, pertama-tama pemilihan tempat makan sering kali menjadi sebuah pilihan yang diambil tidak sembarangan, minimal melalui diskusi berupa testimoni dari kawan dan kerabat, atau paling tidak menemukan referensi dari iklan. Setiap aspek dari tempat makan menjadi pertimbangan, mulai dari atmosfer hingga kualitas pelayanan. Bagi sebagian kita, tempat makan adalah panggung di mana setiap elemen setidaknya dapat menciptakan pengalaman yang luar biasa.

Kemudian ketika tiba di tempat makan, proses serius berikutnya adalah memilih menu makanan menjadi momen krusial, mulai dari menimbang tidak hanya selera, tetapi juga kelezatan dan jaminan kepuasan. Bagi sebagian besar kita-kita ini, terkadang menu adalah bukan sekadar daftar hidangan, tetapi seni yang memerlukan pengertian mendalam.

Ketika hidangan tiba di meja, maka ekspresi wajah tidak pernah bisa disembunyikan, sebagian lagi kadang nyembul lava bening di sela-sela gusi. Lalu selanjutnya dalam setiap suapan dilakukan dengan perlahan, memastikan bahwa semua rasa dalam hidangan itu benar-benar terserap. Keseriusan ini bukanlah ekspresi wajah yang tegang, melainkan intensitas perasaan yang ditunjukan untuk menghargai setiap unsur rasa yang ada. Kita menikmati setiap tekstur, meresapi setiap nuansa rasa, seolah-olah menjalani perjalanan kuliner di setiap gigitan.

Tidak hanya itu, serius menikmati enaknya makanan tidak hanya berkaitan dengan lidah dan perut. Perasaan pun ikut terlibat sebagai aura apresiasi presentasi visual dari hidangan yang tersedia. Yang jelas, keseriusan makan menjadi seni yang menyatu dengan indra perasa dan perasaan.

Foto: Ilustrasi, BidikNews

Kolom Hikmah ini tidak mengajak para pembaca membayangkan tempat makan yang aduhai, menu makan yang memanjakan lidah, dan tidak pula mengajak pembaca untuk larut kepada tekstur dan rasa makanan, akan tetapi penulis ingin mengarahkan perhatian kita, betapa seriusnya kita saat makan. Andai setiap elemen dari aktivitas yang kita jalani dalam hidup ini kita lakoni se-serius kita makan, entah dalam aktivitas berkarya atau beribadah, maka sungguh kita akan menjadi manusia paling unggul.

Andai kita bekerja se-serius kita makan, mulai dari merencanakan—mau menyelesaikan apa, pemanfaatan waktu bekerja seefektif dan seefisien mungkin, memilah-milah mana yang prioritas dan mana yang tidak, sampai kepada menikmati setiap tuntutan jenis pekerjaan seperti menikmati menu makanan,  maka kita akan mendapati kepuasan, prestasi, dan manfaat pribadi serta profesionalitas dari hasil kerja kita.  

Pendekatan serius terhadap pekerjaan tidak hanya dapat membangun karier yang sukses, tetapi juga membentuk fondasi bagi kehidupan yang seimbang dan memuaskan secara keseluruhan. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan seriusitas dalam pekerjaan se-serius kita makan, dapat menjadi kunci untuk mencapai tujuan dan membangun kehidupan yang pasti lebih baik dan lebih baik.

Demikian pula dengan ibadah apabila dikerjakan se-serius kita makan, mulai dari niat yang fokus, gerakan dan kaifiat yang dilakukan dengan perlahan dan hati-hati, bacaan yang dilafalkan seperti mengunyah tekstur makanan yang lezat, sampai kepada keterlibatan seluruh jiwa dan raga serta indra yang turut serta meresapi. Seperti salat misalnya, bisa jadi kalau kita lakukan se-serius kita makan, akan dapat mengenyangkan jiwa, raga, dan pikiran. 

Membaca al-Qur’an se-serius kita makan, mungkin akan terdengar seperti sajian lezat yang menyentuh hati, dan doa-doa kita akan terasa seperti hidangan istimewa yang disantap dengan penuh peresapan.

Kalau kita melakukan upaya meraih sukses dalam karya, dalam karier, dan dalam ibadah se-serius kita makan, terbayang betapa kita akan sangat  gigih dan konsisten dalam menjalankan dan menuntaskan setiap elemen dari pekerjaan dan ibadah yang kita tunaikan, dan yang pasti kita akan memiliki rencana untuk sukses sebagaimana menu makanan yang mengenyangkan.

“wa quli’malụ fa sayarallāhu ‘amalakum wa rasụluhụ wal-mu`minụn, wa saturaddụna ilā ‘ālimil-gaibi wasy-syahādati fa yunabbi`ukum bimā kuntum ta’malụn”. 

Terjemahannya: Dan Katakanlah, bekerjalah kamu, maka Tuhan dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Tuhan) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. at-Taubah ayat 105)

Foto : Repro BidikNews. Lesehan di Kota Mataram - NTB

Sebagai akhir dari uraian Kolom Hikmah ini, siapa tahu kita bisa mengambil ibrah untuk lebih serius memperhatikan kinerja diri kita se-serius kita makan. Lukmanul Hakim memberikan pesan yang sangat mendalam kepada anaknya, yang mencerminkan pemahaman yang tinggi tentang kehidupan dan eksistensi manusia.

Lukmanul Hakim mengingatkan bahwa diri kita ini terbagi menjadi tiga bagian, sepertiganya untuk Tuhan, sepertiganya untuk diri sendiri, dan sepertiganya untuk ulat dan tanah.

Sepertiga untuk Tuhan adalah ruh yang ada di dalam jasad. Ini mencerminkan bagaimana kita membangun hubungan spiritualitas dengan Sang Pencipta. Ruh yang merupakan bagian ilahi dalam diri kita, perlu diberdayakan dan diperkuat melalui hubungan yang kokoh dan serius se-serius kita makan dengan Sang Pencipta.

Kemudian sepertiganya lagi untuk diri kita sendiri yakni amal atau aktivitas  kebaikan yang kita tunaikan setiap hari dan setiap saat. Amal atau aktivitas yang dimaksud adalah yang mencakup perbuatan baik dan kontribusi positif kita dalam kehidupan ini, yang tentunya membutuhkan keseriusan untuk menunaikannya se-serius kita makan. Amal perbuatan yang baik tidak hanya akan memperkaya hidup kita sendiri tetapi juga memberikan manfaat bagi orang lain dan sekitar kita.

Bagian dari sepertiga berikutnya adalah jasad atau raga kita yang fana dan yang akan menyatu dengan tanah, maka janganlah kita memberi asupan yang lebih tinggi intensitasnya dan lebih serius ketimbang dua pertiga lainnya, karena kebiasaan yang kita lakukan dalam memberi asupan untuk raga lebih serius dari dua pertiga di atas.

Pesan Lukmanul Hakim di atas ini mengingatkan kepada kita untuk selalu mawas diri, paling tidak bagaimana seriusnya kita dalam memberi asupan untuk  raga, maka se-serius itu pulalah kita memberi asupan untuk amal dan untuk Tuhan. Keseimbangan antara perhatian terhadap asupan ruh, amal perbuatan, dan kesadaran akan kefanaan material adalah kunci untuk hidup penuh makna.

Penulis adalah : Guru Besar di Universitas Islam Negeri – UIN Mataram - NTB


0 Komentar