Indahnya Kearifan Lokal Sebagai Warisan Luhur Dapat Mengakhiri Konflik Antar Desa di Kabupaten Bima


Oleh : Salahuddin Dae Ompu

Konflik antar desa di Kabupaten Bima adalah sebuah fenomena dengan nuansa yang unik, karena melibatkan masyarakat dari kelompok etnis dan agama yang sama, bahkan memiliki ikatan kekerabatan yang relatif dekat. Perbedaan yang menonjol hanya wilayah administrasi dan batas wilayah suatu desa. 

Hasil penelusuran awak media BidikNews.net menyebutkan akar konflik antar desa yang selama ini terjadi kebanyakan dipicu oleh persoalan sepele yang bersifat personal lalu berubah menjadi lebih komunal dengan menonjolkan identitas pembeda berdasarkan batas wilayah sehingga berubah menjadi konflik antardesa. 

Tentu saja penyelesaian konflik antardesa dan antar kampung perlu diselesaikan dengan pendekatan adat (kearifan lokal), di mana proses kesepakatan damai diikuti dengan penetapan sanksi adat yang akan diterapkan kepada pihak-pihak yang melanggar kesepakatan.

Kabupaten Bima akhir-akhir  ini  begitu terkenal  di  media  masa dan media sosial,  bahkan  hingga ke media internasional.  Penyebabnya bukan karena prestasi aparat pemerintahan atau hasil pembangunan yang spaktekuler di daerah tersebut tetapi  karena konflik antar desa atau antar kampung yang kerap terjadi secara tiba-tiba.  

Akibatnya Kabupaten Bima  sering  disebut  sebagai wilayah Konflik yang sangat mengkhawatirkan. Masyarakat dan trauma konflik antar desa yang  sering terjadi  adalah  suatu yang patut dicermati, sehingga memerlukan penanganan yang serius dari semua pihak dalam upaya antisipasi dan penangannnya.

Sebagai sebuah entitas wilayah yang corak budayanya telah banyak dipengaruhi oleh gaya modern, masyarakat Bima sesungguhnya memiliki kekayaan kearifan lokal yang terkait  dengan mekanisme penyelesaian  konflik. 

Warga masyarakat Bima  memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi  permasalahan yang  dihadapi, termasuk di dalamnya  kearifan dalam menyelesaikan  konflik.  Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan local. 

Selain  karakter masyarakatnya yang terbuka dan bersifat dinamis, budaya lokal masyarakat Bima juga memiliki semangat untuk hidup dalam kedamaian dan keharmonisan. 

Penyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan lokal selama ini sudah  membudaya  dalam  masyarakat.  Oleh karena kearifan lokal  adalah sesuatu yang sudah  mengakar dan berorientasi sakral sehingga  pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah  diterima oleh masyarakat.  Dengan adat lokal  ini diharapkan resolusi konflik bisa cepat  terwujud, bisa diterima semua pihak sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tiba-tiba muncul ditengah masyarakat.

Nilai kearifan lokal ini meskipun masih perlu disempurnakan konsepnya oleh beberapa tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat serta pemerintah kabupaten Bima, namun nilai-nilai  ini sesungguhnya merupakan warisan yang  luhur dari etnis mbojo yang mendiami bumi “Maja Labo dahu” (Malu dan Takut).  

Meski Bima kini secara administratif  daerah telah terbagi menjadi Kota Bima dan Kabupaten Bima, tetapi Nilai-nilai “Maja Labo Dahu”adalah gagasan original yang lahir dari kearifan  lokal masyarakat Bima yang seharusnya bisa  dijadikan sebagai bentuk  penyelesaian konflik   yang kerap terjadi.

“Maja Labo dahu” yang bermakna Malu dan takut pada Allah sang Maha Pencipta, Takut dan malu pada agama yang dianut, malu dan takut pada orang tua, saudara dan sahabat di kampung karena semua bersaudara. 

Berdasarkan hasil diskusi dan wawancara wartawan BidikNews.net yang dilakukan beberapa waktu terakhir nampak jelas bahwa berbagai upaya dalam usaha menyelesaikan konflik di daerah Kabupaten Bima telah banyak dilaksanakan. Hanya saja hasil dari semua bentuk penyelesaian konflik tersebut masih perlu dibenahi.  

Penyelesaian  konflik  yang  nuansanya  kebanyakan seremonial dan hanya sebatas pada mediasi dengan pola  pendekatan  menggunakan  tangan-tangan  aparat  keamanan, melalui  penandatanganan  kesepahaman  dan  perdamaian dinilai masih belum cukup untuk menghentikan konflik jika tidak dibarengi dengan upaya penciptaan perdamaian melalui penerapan hukum adat.

Penyelesaian  konflik yang  dilakukan  oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan aparat keamanan masih sebatas penyelesaian berdasarkan pendekatan hukum dan lebih konvensional. Perspektif semacam ini pemerintah daerah kerap menganggap  masalah  konflik  di  wilayah Bima  hanya  sebagai  kriminalitas  biasa  sehingga menggantungkan  proses penyelesaiannya di  depan  aparat penegak hukum (kepolisian/TNI/maupun Yudikatif) lainnya  dan  hanya  melibatkan kedua belah pihak yang bertikai. 

Cara pandang semacam itu menunjukkan penyederhanaan terhadap apa yang terjadi di daerah tersebut. Selain itu anggapan atas adanya provokator dalam artian   pihak-pihak   yang   menjadi   pendorong   terjadinya   konflik   berkepanjangan menunjukkan bahwa terjadinya pertikaian di kabupaten bima berlangsung melalui tangan-tangan  pihak  luar.  Tetapi dugaan  ini  masih sangat diragukan.

Harus diakui juga bahwa mayarakat  Bima secara  umum,  tidak  memiliki  sistem  siaga  dini yang   mampu   dengan   cepat   mendeteksi   kebenaran   sebuah   informasi   dengan melakukan klarifikasi pada pihak-pihak yang selama ini dianggap rentan dengan isu. 

Upaya penyelesaian konflik di Kabupaten Bima sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bima tetapi telah melibatkan banyak pihak seperti Gubernur Kepolisian dan TNI dalam usaha  mencapai  perdamaian  di  daerah  ini.  

Upaya  perdamaian  yang digagas oleh para petinggi daerah  tersebut  nampaknya tidak cukup efektif dalam menyelesaikan konflik di Bima, sebab ternyata setelah pertemuan tersebut  rentetan  konflik   kembali   terjadi.   

Masalah   utama   yang   tidak   pernah diselesaikan sebetulnya adalah bagaimana mengantisipasi akar konflik, bukan sekedar pertemuan kemudian ada jabat tangan, cipika-cipiki lalu kemudian dianggap selesai dan damai.

Menyelesaikan  konflik  dimasyarakat Bima  memerlukan  kajian mendalam  terkait  dengan  langkah  apa  yang  memungkinkan  untuk  ditempuh  dengan menggunakan pendekatan adat. Dalam hal ini pelibatan kelembagaan adat menjadi penting, terutama di dalam menetapkan sanksi yang diterapkan bagi pelanggar kesepakatan. 

Tentu saja masalah  utama  yang  dihadapi  adalah  bagaimana  peran  kelembagaan  adat  dalam menerapkan sanksi adat tersebut, jika tidak maka penyelesaian hukum formal tetap menjadi alternatif. 

Jika   mencermati   terkait   upaya penyelesaian   konflik   di   wilayah kabupaten Bima  nampak   ada   kemajuan   dengan   berupaya melakukan  pelibatan  lembaga  adat  sebagai  representasi  kearifan  lokal  dan  modal sosial  masyarakat  yang  terlibat  konflik.  

Adanya  kelembagaan  adat  di desa  sejatinya bisa menjadi perekat bagi sistem sosial di desa, hal ini terkait dengan peran sosial dan budaya pada kelembagaan adat yang selama ini masih dianggap sebagai lembaga yang  memiliki  kewibawaan sosial. Kewibawaan sosial ini bisa  terus  terpelihara jika kelembagaan  adat  tetap  diberikan  kewenangan  dalam  menetapkan  kebijakan  di suatu wilayah. Model   penyelesaian   ini   tentu   saja   menjadi   sesuatu   yang  kemungkinan   dapat mengurangi atau bahkan menyelesaiakan konflik antar desa di kabupaten Bima. Hal ini dimungkinkan  oleh  karena  masih  kuatnya  ketaatan  kepada  kelembagaan  adat  pada beberapa  wilayah  di  daerah  ini.  

Penetapan  sanksi  adat  masih merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di Kabupaten Bima, sehingga  upaya  menemukan  jalan  damai  melalui  mekanisme  sanksi  adat  yang penerapannya dibawah kendali kelembagaan adat pada tiap wilayah administratif agar memiliki legitimasi kuat di masyarakat. 

Patut diingat bahwa, kepatuhan kepada hukum negara  dan  sekaligus  aparat  negara  dalam  hal  ini  kepolisian  di  daerah  ini  terus berusaha untuk tegas melakukan penegakkan hukum.  Sehingga konflik  yang  terjadi  antar desa  bahkan  tidak  berubah  menjadi konflik  yang  memperhadapkan  masyarakat  dengan  aparat  kepolisian,  sebagaimana sering terjadi di daerah lain.

Upaya  penyelesaian  konflik  yang  selama  ini  ditempuh  melalui  upaya  rekonsiliasi dengan   menempuh   jalur   pertemuan   formal   dengan   melibatkan   tokoh-tokoh masyarakat  dan  pemerintahan  setempat  belu cuku untuk dapat  menyelesaikan  konflik  yang terjadi antar desa dan antar kampung. 

Meski demikian salah satu model penyelesaian konflik  yang  dianggap  cukup  efektif  adalah  dengan  menggunakan  pendekatan  adat, bentuknya  adalah  kesepakatan  damai  dengan  menetapkan  sanksi  adat  yang  akan diterapkan kepada pihak-pihak yang melanggar kesepakatan. 

Model ini akan bisa berhasil dengan  syarat  kelembagaan  adat  di  setiap  desa  di  Kabupaten  Bima harus  aktif  dan keanggotaan atau pemangku adatnya adalah tokoh yang memiliki kharisma dan paling dipatuhi oleh warga masyarakat di desa itu.


Seiring dengan hal itu, beberapa waktu lalu Bupati Bima Hj. Indah Damayanti Putri ketika bersilaturrahmi dengan para tokoh masyarakat dan warga Desa Talabiu, Desa Penapali dan Desa Dadibou Kecamatan Woha yang berselisih mengingatkan agar warga untuk tidak mudah terprovokasi dengan informasi sumbernya tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Bupati Bima juga mengemukakan pentingnya pemahaman warga terhadap dampak pertikaian. Setiap kejadian tidak hanya merugikan mereka yang bertikai, tetapi juga merugikan pihak yang tidak terkait sama sekali dengan konflik yang ada.” kata Bupati wanita di NTB itu

Oleh karena  itu saya minta untuk membuang jauh-jauh pertikaian antar desa dan antar kelompok  yang menyebabkan kerugian bagi banyak pihak". Katanya 

Selain Bupati Hj. Indah Damayanti Putri,  Kapolres Bima AKBP Eko Sutomo S.IK.,M.IK dalam mengharapkan dukungan seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban wilayah hukum Polres Bima kabupaten khususnya dan wilayah Bima umumnya. 

Kapolres Bima AKBP Eko Sutomo S.IK.,M.IK juga menghimbau warga untuk menjaga Kamtibmas. Penting juga disampaikan agar tidak ada pihak yang menjadi provokator  yang bisa menyebabkan konflik bertambah luas. 

Penulis adalah: Pimpinan Redaksi BidikNews.net dan Direktur Lembaga Investigasi Pusat


0 Komentar