Puasa Menguatkan Komitmen Diri, Oleh : Prof. Dr. H. Maimun Zubair, M.Pd


Oleh : Prof. Dr. H. Maimun Zubair, M.Pd, ( 14 Maret 2024 )

SEBAGIAN besar—kalau kita enggan mengatakan semua—umat Islam yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan,  di setiap penghujung bulan Ramadhan pasti memanjatkan doa agar Tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadhan berikutnya. Bagi kita yang bertemu dengan Ramadhan tahun ini, dapat berpuasa dan melaksanakan amalan-amalan lainnya, berarti doa kita telah diijabah Tuhan.

Tidak hanya di setiap penghujung Ramadhan kita berdoa, bahkan doa-doa semisal, juga kita panjatkan di bulan Rajab dan Sya’ban—dua bulan sebelum Ramadhan tiba, kita meminta keberkahan pada dua bulan tersebut dan memohon untuk ditakdirkan berjumpa dengan Ramadhan, “Allahumma barik lana fi rajaba wa sya’bana wa balighna Ramadhana”. Ya Tuhan kami, berkahilah umur kami di bulan Rajab dan Syaban, serta sampaikan lah (umur) kami hingga bulan Ramadan.

Kini doa itu sudah dijawab oleh Tuhan dengan menakdirkan kita bertemu dengan Ramadhan. Penting kita sadari bahwa doa yang kita panjatkan kehadirat Tuhan sesungguhnya menjadi janji dan komitmen pribadi antara kita dengan Tuhan.

Maka kewajiban kita tak lain adalah menyambut dan mengisi Ramadhan ini dengan ibadah yang sungguh-sungguh dan serius sebagai bentuk pertanggung jawaban pribadi masing-masing atas permintaan kita di dalam doa yang kita panjatkan. 

Dulu di zaman Rasulullah saw, sebagai wujud komitmen diri, kebiasaan beliau setiap datang Ramadhan selalu menyiarkannya kepada para sahabat dengan kegembiraan yang luar biasa, sesuai dengan sabda beliau, “Kanan nabiyu shalallahu alaihi wasallama yubassyiru ashabahu biqudumi ramadhana biqauli, qad ja akum syahru ramadhana syahrun mubarakun kutiba alaikum shiamuhu, tuftahu fihi abwabus sama’I watuglaqu fihi abwabul jahim watugallu fihisy syayathin fihi lailatun khairun min alfi syahrin man haruma khairaha faqad harumal khairalkatsir”.

Terjemahannya: Rasulullah memberikan kabar gembira atas kedatangan bulan Ramadan dengan sabdanya, bulan Ramadan telah mendatangi kalian, bulan penuh berkah di mana kalian diwajibkan berpuasa di dalamnya, bulan di mana pintu langit dibuka, pintu neraka Jahim ditutup, setan-setan diikat, dan bulan di mana di dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang luput dari kebaikannya, maka ia telah luput dari kebaikan yang banyak.” (HR Abu Hurairah).

Para sahabat pun ikut bergembira sebagaimana Rasulullah SAW, dikarenakan bulan Ramadhan itu bulan pengampunan (syahrul magfirah), di mana Tuhan selama bulan suci Ramadhan akan menurunkan ampunan untuk hamba-Nya. Dan para sahabat disamping mengharap ampunan juga sadar bahwa dirinya tidak lepas dari salah dan khilaf.

Makanya para sahabat menyikapi sabda dari Rasulullah itu dengan optimis dan sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa selama bulan suci Ramadhan Tuhan akan mengampuni segala khilaf dan salah yang pernah dilakukan dalam jangka waktu sebelas bulan di luar Ramadhan.

Demikian optimisme dan kesadaran para sahabat, bahwa dirinya memiliki salah dan dosa—sekalipun kita tahu bahwa sahabat itu ahli ibadah, berjihad bersama Rasul, dan sebagai ahlul qur’an, namun mereka tidak ke-pede-an merasa dirinya tidak berdosa, sehingga Ramadhan itu disambutnya bagai telaga kautsar yang akan membersihkan salah dan khilafnya.

Bagi kita yang tidak ketemu dengan baginda Rasulullah saw, komitmen kegembiraan itu dapat kita luapkan melalui ucapan suka cita atas kedatangan Ramadhan dengan menguntai kalimat “Marhaban ya Ramadhan”. Kalimat ini tidak saja diucapkan, akan tetapi dapat pula disebarluaskan melalui media sosial dan quotes Ramadhan, sebagai pertanda bahwa kita juga ikut mensyiarkan sunnah Nabi yang begitu bergembira dengan datangnya bulan yang agung penuh berkah.

Marhaban diambil dari kata “rahb” yang berarti luas atau lapang. Artinya dalam menyambut kedatangan Ramadhan, hati kita harus terbuka selebar-lebar dan seluas-luasnya untuk menerima kedatangan Ramadhan beserta seluruh rangkaian syariat yang dibawanya, seperti puasa di siang hari harus dilakukan dengan ikhlas, salat tarawih dan tahajud di malam hari harus dilaksanakan dengan patuh setiap malam sepanjang bulan Ramadhan, membaca al-Qur’an (tadarrus) harus kita literasikan setiap hari setiap malam, berbagi dengan sesama harus kita tunaikan.

Itulah realisasi dari makna yang sesungguhnya dari kata marhaban ya Ramadhan, yakni bentuk penegasan diri dalam wujud aksi nyata atas komitmen diri untuk menerima dan menyambut Ramadhan dengan semua syariat yang mendampinginya secara ikhlas, tulus dan terbuka.

Melalui syariat puasa Ramadhan Tuhan dengan kelembutan sifat-Nya ingin membersihkan noda yang ada pada diri hamba-Nya akibat perbuatan salah dan khilaf, Tuhan dengan kelembutannya ingin memperbaharui pisik dan psikis hamba-Nya melalui pola makan yang teratur, dan dengan sentuhan kekuatan yang Maha Lembut pula Tuhan ingin menguatkan keimanan hamba-Nya.

Kemudian makna marhaban juga terambil dari kata “rahbun” yang bermakna tempat memperbaiki sesuatu yang rusak. Jadi dengan kalimat Marhaban Ramadhan yang diungkapkan dengan sepenuh hati, kita sangat yakin bahwa Ramadhan sungguh merupakan bulan kasih sayang Tuhan, bulan yang menjadi hadiah terindah untuk hamba-Nya, dan menjadi bengkel bagi manusia agar menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Dengan sifat-Nya yang Maha Lathif (maha lembut), Tuhan menyentuh sisi kesadaran hamba-Nya melalui syariat puasa, guna memperbaiki kondisi hambanya yang hidup serba tidak teratur dan tidak seimbang selama sebelas bulan di luar Ramadhan.

Melalui syariat puasa Ramadhan Tuhan dengan kelembutan sifat-Nya ingin membersihkan noda yang ada pada diri hamba-Nya akibat perbuatan salah dan khilaf, Tuhan dengan kelembutannya ingin memperbaharui pisik dan psikis hamba-Nya melalui pola makan yang teratur, dan dengan sentuhan kekuatan yang Maha Lembut pula Tuhan ingin menguatkan keimanan hamba-Nya.

 Dengan syariat yang mengatur pola makan (melaui waktu berbuka dan makan sahur) yang ditentukan selama satu bulan, maka sesungguhnya dengan lathif-Nya Tuhan sedang memperbaiki kondisi pisik kita yang selama ini cenderung tidak mengikuti pola hidup sehat, makan dan minum kapan saja kita mau, sehingga pola makan menjadi tidak teratur.

Dan puasa selama satu bulan juga akan mengembalikan seluruh organ yang sudah aus di dalam tubuh kita menjadi terremajakan (rejuvenasi), termasuk hati dan jiwa, sehingga hamba-Nya mendapat keseimbangan hidup (proses stabilisasi) yang selama ini sering tidak seimbang.

Sebagai catatan akhir, selagi masih berada di awal Ramadhan, marilah kita menjalankan ibadah puasa  Ramadhan dengan semua syari’at yang mengikutinya dengan serius dan tentunya ikhlas sepenuh hati agar kita menjadi hamba yang bertakwa yang ditandai dengan menjalankan proses ibadah dan pola hidup yang teratur dan seimbang. (Sumber Alamtara.co)

Penulis adalah: 

  • Guru Besar Universitas Islam Negeri  ( UIN ) Mataram
  • Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram      



0 Komentar