Puasa, Penguatan Komitmen Teologis Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd


Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

KOMITMEN teologis adalah suatu sikap atau keyakinan terhadap Tuhan yang didasari oleh prinsip-prinsip agama. Komitmen teologis ini dimulai semenjak pernyataan tulus di alam rahim yang diikrarkan dalam kondisi terkesima atas kebesaran dan keagungan Tuhan sebagaimana tertuang di dalam al qur’an surah al a’raf ayat 172, 

“alastu birabbikum, qālụ balā syahidnā, an taqụlụ yaumal-qiyāmati innā kunnā ‘an hāżā gāfilīn”. Terjemahannya: Bukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).

Seiring berjalannya waktu, komitmen teologis itu beranjak melemah, di mana dalam praktik kehidupan nyata, kita dapat menyaksikan betapa banyak orang-orang yang mengaku beragama, namun dalam aktivitas yang dijalani seakan-akan mereka kehilangan Tuhannya, karena antara aktivitas hidup yang dijalani dengan muatan syariat agama yang dipeluknya nampak tak seimbang, dalam arti mereka menempatkan agama pada tempat yang tidak semestinya. Agama sering kehilangan fungsi sebagai sistem nilai yang sejatinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Syariat puasa yang dihadirkan Tuhan untuk kita, bisa jadi  sebagai respon atas sikap dan prilaku hamba-Nya agar dalam praktik kehidupannya tidak terlalu jauh meninggalkan Tuhan dan ajaran agama yang disyariatkan-Nya, dan syariat puasa dapat berfungsi sebagai etalase yang memaksa hamba-Nya untuk memajang dirinya dalam posisi sebagai manusia yang membutuhkan Tuhannya. Dengan kata lain bahwa kehadiran syariat berpuasa menjadi ajang penegasan diri atas penguatan komitmen teologis.

Komitmen teologis bukan hanya tentang keyakinan rasional, akan tetapi juga mencakup dimensi emosional dan spiritual dengan melibatkan harmoni antara hati dan perilaku yang akan mendorong terjadinya praktik keyakinan akan adanya Tuhan yang nampak indah dan  saleh dalam kehidupan sehari-hari.

Menjadi orang yang patuh pada semua tuntunan yang diturunkan Tuhan terkait syariat puasa merupakan bagian dari komitmen teologis, di mana seorang yang sedang menjalankan ibadah puasa tidak memiliki daya yang kuat untuk tidak patuh kepada Tuhannya, sekalipun dalam keadaan sendirian dan berada di ruang gelap, dipastikan untuk menjadi hamba yang patuh dan tunduk untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat mengurangi makna dan nilai puasanya.


Puasa sebagai komitmen teologis mendorong kita sebagai pelakunya untuk mengimplementasikan keyakinan dalam tindakan sehari-hari. Ini termasuk melaksanakan ritual keagamaan, melayani sesama, dan menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang digariskan Tuhan.

Pada tingkat emosional, komitmen teologis mencakup cinta, kasih sayang, dan peduli pada sesama yang diwujudkan dalam aktivitas berbagi di bulan Ramadhan dari sebagian rezeki yang diberikan Tuhan, aksi berbagi di samping cermin rasa syukur, juga tak kalah pentingnya merupakan bagian dari penguatan komitmen teologis yang menegaskan bahwa dirinya siap menunaikan amanah yang dititipkan Tuhan berupa hak orang lain yang harus dibagi secara patuh dan tentunya adil.

Secara spiritual, komitmen teologis diwujudkan dalam aksi hubungan individu dengan Tuhan dalam bentuk ibadah yang ditunaikan sepanjang waktu di bulan Ramadhan mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, ditambah lagi dengan qiyamullail seperti salat tarawih dan salat tahajud di pertengahan malam. Aksi tersebut adalah bukti akan adanya komitmen teologis berupa kemampuan dan kerelaan memberikan waktu lebih banyak untuk Tuhan dibanding untuk yang lain.

Dalam tataran praktis, komitmen teologis yang diaktualkan dalam aksi menahan diri dari terbit fajar hingga terbenam matahari dapat menjadi bukti dari penguatan komitmen teologis. Demi kepatuhan kepada Tuhan, pelaku puasa sukarela menerima titah Tuhan berupa larangan untuk mengatakan tidak terhadap sesuatu yang boleh selama tiga puluh hari. 

Puasa sebagai komitmen teologis mendorong kita sebagai pelakunya untuk mengimplementasikan keyakinan dalam tindakan sehari-hari. Ini termasuk melaksanakan ritual keagamaan, melayani sesama, dan menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang digariskan Tuhan.

Komitmen teologis ini memainkan peran penting dalam membentuk identitas dan memengaruhi cara berinteraksi dengan sekitar. Puasa sebagai komitmen teologis mengajarkan kesabaran, pengendalian diri, dan pengorbanan, serta membawa manfaat bagi sosial kemanusiaan. Melalui puasa, pelakunya diharapkan untuk senantiasa memperkuat hubungan dengan Tuhan, memperbaiki karakter, dan meningkatkan kesadaran spiritual.

Sebagai penguatan komitmen teologis, bahwa pelaksanaan puasa tidak hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga mengharuskan pelakunya untuk patuh kepada ajaran-ajaran Tuhan dalam semua aspek kehidupan, berusaha untuk dapat mengatasi godaan dan cobaan, puasa disikapi tidak hanya menjadi kewajiban agama, tetapi juga merupakan bentuk ibadah yang nilainya sangat bermakna dalam membantu pelakunya memperkuat ikatan spiritual dengan siapa saja. Selain itu, pelaksanaan puasa juga dapat menjadi penegasan atas komitmen sosial dan moral sehingga membantu pelaku puasa memperbaiki karakter dan perilaku secara keseluruhan.

Sebagai catatan akhir dari Kolom Hikmah ini, perlu kita renungkan bagaimana sahabat Nabi saw menyambut kedatangan Ramadan. Para sahabat Nabi mencontohkan perilaku menyambut Ramadan sebagai bentuk penguatan komitmen teologis yang dapat kita jadikan iktibar, di mana para sahabat Nabi memiliki kebiasaan menyambut datangnya Ramadan dengan sikap seakan-akan dia sedang berada di dalam tahanan, sebagai tahanan dia berusaha untuk tidak melakukan perjalanan luar kota, nafsu makannya dikendalikan dan berusaha untuk tidak makan dengan lahap, tidak melakukan sesuatu yang tidak terpuji, tidak berhura-hura, dia fokus untuk melakukan apa yang diperintahkan Tuhan dengan sangat patuh, dan mengekang kebebasan dirinya seperti orang yang terkurung dalam terali tahanan Tuhannya.

Penulis : Adalah : Guru Besar UIN Mataram 

0 Komentar