Merindui Asa yang Mencintai, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd


SALAH satu
ayat al-Qur’an yang sering dikutip terkait dengan cinta yakni Surah Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu mendapatkan ketenangan hati dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Al-Qur’an bukan serial novel yang membawa pembacanya berkhayal dan menerawang ke alam bawah sadar, namun untuk pembacanya dihadirkan berita yang romantis tentang rasa dan asa cinta termasuk kerinduan dalam konteks yang mendamaikan, seperti yang sering digambarkan al-Qur’an adalah kasih sayang antara manusia dan Tuhannya, kasih sayang antara sesama manusia, kasih sayang terhadap alam semesta, dan kasih sayang kepada sesuatu yang baik dan benar

Jangan kira asa cinta dan rasa merindui yang ada di dalam hati kita merupakan anugerah yang bisa diobral ke apa saja dan ke siapa saja. Ingat kata orang bijak, bahwa cinta itu bukanlah batu yang bisa dilempar ke sembarang tempat, akan tetapi cinta adalah mutiara yang hanya bisa dilempar ke tempat yang dipilih dan terpilih.

Puncak dari ketundukan dan kepasrahan seorang hamba adalah hadirnya rasa cinta kepada Tuhannya. Rasa ini pernah hadir dalam munajat kita di bulan Ramadan, saat kita harus tunduk dan patuh atas asa kita yang begitu mencintai Tuhan dengan syariat puasa yang diwajibkan selama satu bulan.  

Komunikasi dalam berbagai bentuknya tentang perasaan bisa membantu mengurangi kecemasan dan mengubahnya menjadi kedekatan. Selain itu, memahami bahwa rasa takut kehilangan adalah hal yang wajar dalam mencintai, akan tetapi tidak boleh mengendalikan hidup kita sepenuhnya.

Rasa cinta yang kita miliki merupakan perasaan yang indah, hangat, perhatian, peduli, dan bahkan merindui. Merindui bisa menjadi pengalaman yang kuat ketika merindukan kehadiran yang dicintai, atau bahkan ketika merindukan kenangan atau momen-momen indah yang telah dilalui. 

Perasaan merindui sering kali muncul ketika ada jarak fisik atau emosional, atau ketika ada perubahan dalam situasi hidup. Merindui itu kristalisasi dari rasa empati, penghargaan, dan peduli yang kita tunjukkan dalam bentuk perhatian kecil hingga dukungan besar.

Mencintai dan merindui adalah pengalaman yang kompleks dan sering kali menjadi misteri yang tak nampak namun sangat terasa. Saat kita mencintai, maka kehadiran obyek yang kita cintai dalam hidup dapat memberikan kebahagiaan yang besar. Pikiran tentang kebersamaan, perhatian dan kebaikan bisa membuat diri ini merasa hangat dan bersemangat.

Ketika mencintai yang dirasakan dengan sangat mendalam, biasanya akan disusul dengan rasa ketakutan akan kehilangan. Dan itulah perasaan yang teralami dan sering kali memantik rasa kekhawatiran dan kecemasan. Rasa takut kehilangan menjadi bagian alamiah dari pengalaman mencintai. Saat kita mencintai dengan mendalam, terkadang kita merasa cemas akan kehilangan atau rindu betapa berharganya hubungan kasih sayang itu.

Komunikasi dalam berbagai bentuknya tentang perasaan bisa membantu mengurangi kecemasan dan mengubahnya menjadi kedekatan. Selain itu, memahami bahwa rasa takut kehilangan adalah hal yang wajar dalam mencintai, akan tetapi tidak boleh mengendalikan hidup kita sepenuhnya. 

Menikmati waktu sendiri juga penting, karena waktu yang digunakan untuk mengelola diri sendiri dalam berbagai bentuknya dapat membantu mengurangi rasa takut kehilangan.

Kemudian saat merindui terkadang ada perasaan hampa atau kosong dalam hidup ini. Kehampaan saat mencintai bisa menghadirkan rasa terisolasi, terutama jika jarak atau keadaan memagari hasrat untuk bersama, namun penting untuk diingat bahwa meskipun rasa hampa ini bisa membuat rasa tak nyaman, sungguh terkadang perasaan hampa dapat menjadi nilai berharga yang harus kita bayar dari perilaku mencintai.

Jadi meskipun ada kerumitan dalam perasaan mencintai, tetapi pasti tersisa juga perasaan tenang dan damai. Ketenangan dan kedamaian dalam menyayangi dan merindui sesungguhnya datang dari keyakinan bahwa cinta itu memang ada, bahwa hati kita aman dalam mengenang yang kita cintai, dan bahwa kita dapat mempercayai perasaan itu sebagai tempat untuk bersandar.

Dalam kerinduan, ketenangan itu akan hadir ketika kita menyadari bahwa cinta kita tetap kuat meskipun jarak memisahkan, dan bahwa kita memiliki hubungan yang mendalam yang tidak tergantung pada kehadiran fisik. Kenyamanan muncul ketika kita merasakan hubungan tersebut melalui komunikasi yang terbuka dalam bentuk dan nuansa apapun.

Terkadang, rasa cinta dapat memicu antusiasme dan semangat untuk membuat keadaan diri menjadi lebih baik. Rasa antusiasme saat mencintai dan merindui bisa sangat intens dan mendalam, seperti ada dorongan kuat untuk terus merasa sangat dekat. Mencintai dan menyayangi juga seringkali disertai dengan harapan dan kerinduan yang datang secara bersama-sama.

Apa yang terjadi berupa rasa ketidakpastian saat mencintai memang seringkali hadir, seperti perasaan yang berada di antara kegembiraan dan kekhawatiran. Ketika rasa menyayangi dan merindui itu mekar di dalam hati, kita merasa begitu terhubung dan bahagia, tetapi juga terkadang disertai rasa takut akan kehilangan. Maka merindui seringkali membawa ketidakpastian asa dan bisa menjadi bagian dari pesona dalam hubungan kasih sayang.

Sebagai catatan pinggir bahwa aktivitas dan aksi dalam kapasitas beribadah yang bernilai sangat tinggi di hadirat Tuhan adalah yang lahir dari rasa cinta (mahabbah), karena hanya dengan semangat mencintai akan lahir komitmen memberikan yang terbaik.

Apa yang terurai tentang mencintai di atas ini, sesungguhnya bukanlah romantisme dalam bingkai novel dan roman, akan tetapi bagi sebagian hamba yang telah melebur dirinya dalam ibadah di bulan Ramadhan, maka pada Syawal inilah akan muncul memori mencintai, menyayangi, dan bahkan merindui betapa kehadiran Tuhan dalam keseharian kita begitu mendamaikan dan memberi kenyamanan yang tiada tara. Akankah rasa dan asa itu akan terkikis begitu cepat setelah pergantian bulan dan keadaan mengubah perilaku dan sikap keberagamaan kita?

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd : Wakil Rektor II UIN Mataram


 


0 Komentar