Foto: Repro BidikNews.net |
Alam rohani adalah sebuah konsep yang sering digunakan dalam konteks spiritualitas. Istilah ini mengacu pada perjalanan atau proses pertumbuhan spiritual seseorang yang melibatkan pencarian makna hidup, pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri terutama yang berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai etik dan moral, serta hubungannya dengan kekuatan atau keberadaan yang lebih besar seperti Tuhan dan alam semesta.
ADA pertanyaan yang menggelitik terkait dengan kita—sebagai manusia yang menjadi makhluk dengan penciptaan amat sempurna (Ahsani taqwim) yang memiliki kesadaran rasional dan moril, namun dalam praktiknya mengapa seolah-olah kesadaran itu tidak berfungsi untuk membentengi dirinya? Padahal manusia itu pada dasarnya merupakan entitas yang berkesadaran (consciousness entity), karena Tuhan telah menjadikannya sebagai makhluk paling baik dan paling sempurna baik piranti lunak maupun piranti kerasnya.
Selain dibekali bentuk fisik dan organ tubuh yang fleksibel, manusia dianugerahi juga pancaindera, akal budi, dan hati nurani ditambah lagi dengan petunjuk (wahyu) yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul.
Kesempurnaan piranti penciptaan itu semata-mata untuk memfasilitasi kita sebagai hamba-Nya agar mudah menunaikan tugas dan tanggung jawab untuk senantiasa mendekat kepada Tuhan dalam makna beribadah secara continue (hatta ya’tiakal yaqin) dan menjadi sesuatu yang niscaya sepanjang perjalanan hidup yang kita lakoni (liya’budun).
Untuk proses pendekatan diri kepada Tuhan, penting kita pahami bahwa Tuhan itu adalah Dzat yang Maha Suci, dan hanya bisa didekati melalui jalan kesucian, yakni melalui kesadaran rasional dan moril yang berfungsi dengan baik—dalam term ulama adalah jalan rohani.
Jalan rohani adalah sebuah konsep yang sering digunakan dalam konteks spiritualitas. Istilah ini mengacu pada perjalanan atau proses pertumbuhan spiritual seseorang yang melibatkan pencarian makna hidup, pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri terutama yang berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai etik dan moral, serta hubungannya dengan kekuatan atau keberadaan yang lebih besar seperti Tuhan dan alam semesta.
Ibadah puasa menjadi bagian yang disyariatkan Tuhan sebagai jalan rohani yang berfungsi menyucikan melalui syariat menahan rasa lapar, dahaga, serta kemampuan menahan hawa nafsu yang sering kali mengotori fisik dan psikis manusia.
Puasa dapat menjadi alat untuk menguji batas kekuatan fisik manusia terhadap kekuatan rohaninya dengan cara pengosongan diri baik yang bersifat material seperti makan dan minum, dan non-material seperti emosi, dan hawa nafsu, sehingga para pelaku puasa bisa benar-benar hadir dan dekat kepada Tuhannya.
Dengan kekuatan syariat berpuasa sebagai jalan rohani secara tidak disadari menuntun kita untuk menemukan jalan yang tepat berupa jalan kesucian sebagai jalur mendekati Tuhan sebagai Dzat yang Maha Suci, dikarenakan di dalam kewajiban berpuasa itu ada proses penempaan diri dalam menemukan titik kesadaran spiritual, yakni Latihan untuk mengosongkan dan membersihkan diri, Latihan menghiasi diri dengan perbuatan dan karakter yang terpuji, dan Latihan untuk berusaha memancarkan atau mewujudkan sifat-sifat terpuji dalam perilaku sehari-hari.
Mengosongkan dan membersihkan diri yang dilatih dalam ibadah puasa adalah proses atau tindakan untuk membebaskan diri dari beban pikiran negatif atau emosi yang sering kali membebani, serta membersihkan diri secara fisik dan psikis.
Dalam konteks spiritual, “mengosongkan dan membersihkan diri” bisa merujuk pada upaya untuk mencapai kedamaian batin dan kesucian hati yang ditempuh melalui internalisasi diri dan praktik sosial spiritual.
Proses ini mencakup pengosongan pikiran dari kegelisahan, kekhawatiran, atau kebencian, serta membersihkan hati dan jiwa dari kekhilafan atau kesalahan. Jadi “mengosongkan dan membersihkan diri” mencakup kombinasi antara pembebasan diri dari beban mental dan emosional, serta pemeliharaan kebersihan fisik dan psikis.
Jalan rohani berikutnya dari ibadah puasa adalah memancarkan atau mewujudkan sifat-sifat terpuji dalam perilaku sehari-hari. Proses ini dapat berupa melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas, seperti berbagi kepada yang membutuhkan dan mendukung upaya-upaya amal sosial.
Kemudian menghiasi diri dengan perbuatan dan karakter yang terpuji yang menjadi bagian dari muatan ibadah puasa sebagai jalan rohani. Aktivitas ini mengacu pada upaya untuk memperindah atau memperbaiki diri sendiri melalui tindakan dan sifat-sifat yang kita anggap baik, mulia, dan tentunya terhormat dalam pandangan masyarakat atau nilai-nilai moral tertentu. Ini melibatkan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, kebaikan, kerendahan hati, kesabaran, keadilan, dan empati, serta menunjukkan sikap yang pantas dihargai dan dihormati oleh orang lain.
Dengan menghiasi diri dengan perbuatan dan karakter yang terpuji, sungguh kita sedang memainkan peran yang positif dalam masyarakat, membangun hubungan yang sehat dan harmonis dengan orang lain, dan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi diri sendiri dan sekitar kita.
Jalan rohani berikutnya dari ibadah puasa adalah memancarkan atau mewujudkan sifat-sifat terpuji dalam perilaku sehari-hari. Proses ini dapat berupa melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas, seperti berbagi kepada yang membutuhkan dan mendukung upaya-upaya amal sosial.
Yang jelas untuk melengkapi kesempurnaan jalan rohani dibutuhkan sifat-sifat yang dianggap positif dan diterima dalam berbagai budaya dan tradisi, seperti integritas, kepedulian, kesetiaan, kerendahan hati, dan kebijaksanaan.
Ketika seseorang sedang berpuasa, ia menjadi lebih sadar akan kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya seperti makanan dan minuman yang memungkinkannya untuk menghargai nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan.
Dengan menghabiskan lebih banyak waktu untuk beribadah dan refleksi diri selama bulan puasa, seseorang dapat memperdalam hubungannya dengan Tuhan dan memperbaiki perilaku serta sikapnya—puasa memperkuat ikatan spiritual seorang hamba dengan Tuhannya.
Sebagai kalimat akhir dari Kolom Hikmah ini, penting kita sadari bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga merupakan perjalanan rohani yang memperkaya kehidupan spiritual kita dengan nilai-nilai kesucian yang mendalam dan tentunya bermakna.
- Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd (Guru Besar UIN Mataram, NTB) -
0 Komentar