KEBOHONGAN ITU TIDAK BERDIRI SENDIRI, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd, Wakil Rektor II UIN Mataram

Kebohongan lawan dari kejujuran, satu sikap yang perlu kita waspadai agar jangan sampai dihinggapi, karena kebohongan itu kalau sudah menjadi kebiasaan, akan berubah menjadi virus yang akan menjalar ke seluruh elemen diri, mulai dari perkataan, perilaku, penampilan, bahkan performance akan ikut terancam.

Kebohongan itu virus yang mematikan akal sehat yang mengakibatkan fungsi kontrol yang melekat didalam hati akan menjadi lemah (Baca QS. Al Baqarah ayat 10). Ini menyiratkan bahwa kebohongan itu memiliki efek negatif yang sangat merusak, sama seperti virus yang dapat menyerang dan merusak tubuh manusia. 

Dalam konteks ini, kebohongan dianggap dapat menghancurkan akal sehat dikarenakan dapat mengganggu pemahaman kita tentang kebenaran, dan mengganggu kemampuan kita untuk membuat keputusan yang tepat dan rasional. 

Seperti halnya virus yang menyebar dengan cepat, maka kebohongan itu juga dapat menyebar dan mempengaruhi semua organ didalam tubuh.

Kebohongan sering kali tidak berdiri sendiri dan dapat menyebabkan rangkaian perilaku negatif lainnya. 

Satu kebohongan pastinya memerlukan kebohongan lain untuk menutupinya, dan yang jelas memiliki efek domino yang dapat mengarah pada berbagai bentuk perilaku negatif yang menjadi turunannya; seperti membual, memfitnah, mengadu domba, dan mencari kambing hitam.

Kebohongan itu membutuhkan kecerdasan setingkat lebih tinggi dari kecerdasan orang jujur, karena orang yang bohong harus memiliki kemampuan yang lebih untuk menutupi kebohongan yang sedang dilancarkan. 

Mengapa kebohongan harus memerlukan kecerdasan yang lebih tinggi ketimbang kejujuran?. 

Pertama, Kebohongan sering kali memerlukan perencanaan, ingatan yang baik, dan kemampuan untuk menjaga konsistensi alur kebohongannya. Ini bisa memerlukan usaha kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan mengatakan kebenaran; 

Kedua, Orang yang berbohong harus siap menghadapi konsekuensi dari kebohongannya. Ini bisa melibatkan manipulasi situasi, mengelola reaksi orang lain, dan berbohong lebih lanjut untuk menutupi kebohongan sebelumnya; 

Ketiga, Berbohong berarti menciptakan versi alternatif dari kenyataan yang harus diingat dan dipertahankan, yang membutuhkan daya ingat dan perhatian yang lebih besar; 

Keempat, Kebohongan yang efektif sering kali memerlukan pemahaman tentang kelemahan, ketakutan, atau harapan orang lain untuk membuat kebohongan tersebut lebih meyakinkan.


Jadi penting untuk diingat bahwa kecerdasan yang digunakan untuk berbohong berbeda dengan kecerdasan moral. Kejujuran mungkin tidak memerlukan tingkat kecerdasan yang sama dalam hal kompleksitas cerita, tetapi menunjukkan integritas, kepercayaan, dan etika, yang merupakan tanda kecerdasan emosional dan moral yang tinggi. Berbohong mungkin membutuhkan strategi kognitif yang lebih rumit, tetapi kejujuran mencerminkan karakter dan nilai-nilai yang kuat. 

Kebohongan dapat menurunkan kualitas diri di hadapan siapapun, baik di hadapan orang lain maupun dalam pengakuan diri sendiri. Ketika melakukan suatu kebohongan, kepercayaan diri akan menurun, dan ingatlah bahwa kehilangan kepercayaan diri berarti kehilangan nilai di mata siapapun. Orang cenderung menghormati kejujuran dan integritas, maka ketika seseorang berbohong, mereka pasti akan kehilangan rasa hormat yang cukup berpengaruh dalam interaksi sosial dan profesional tentunya.

Dengan demikian, kebohongan tidak hanya berdampak negatif pada hubungan dan reputasi, tetapi juga pada persepsi diri dan kualitas diri, karena kejujuran dan integritas adalah citra kualitas diri yang penting untuk suatu hubungan yang sehat dan reputasi yang baik.

Kemudian kebohongan itu pasti akan berdampak kepada ketidaktenangan hati dan pikiran, karena bertentangan dengan nilai kebenaran, dan kebohongan itu sering kali menimbulkan rasa bersalah didalam diri pelakunya, karena adanya rasa ketidaksesuaian antara tindakan (berbohong) dan nilai-nilai moral yang diyakini (kejujuran) yang menyebabkan timbulnya konflik internal yang mengganggu ketenangan pikiran. 

Seseorang yang berbohong harus selalu waspada dan pastinya khawatir bahwa kebohongannya akan terbongkar. Kekhawatiran ini bisa menjadi beban mental yang berat dan menyebabkan stres berkelanjutan, menciptakan disonansi kognitif berupa ketegangan antara apa yang seseorang tahu benar (nilai-nilai kebenaran) dan apa yang mereka lakukan (berbohong). Konflik inilah yang seringkali menyebabkan ketidaktenangan hati dan pikiran.

Stres dan kecemasan yang dihasilkan dari kebohongan dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk berpikir jernih dan sulit untuk memproduksi keputusan yang bijak. Dengan demikian, meskipun kebohongan mungkin tampak sebagai cara yang mudah untuk menghindari masalah atau mencapai tujuan tertentu, dampak negatifnya pada kehidupan pribadi sangat signifikan. 

Dengan menyadari bahwa kebohongan itu tidak berdiri sendiri, maka berhati-hatilah kita dengan kebohongan sekecil apapun, karena cepat atau lambat bahwa kebohongan itu pasti akan membawa kehancuran terhadap diri sendiri, terutama kehancuran moral. Sebaliknya bahwa kejujuran dan integritas, akan membangun fondasi yang kuat untuk mental yang sehat, reputasi yang baik, dan kenyamanan emosional.


Sebagai catatan akhir, Berusahalah untuk berlaku jujur meskipun tantangannya berat. Ingatlah bahwa menghadapi tantangan dengan tetap jujur memang tidak selalu mudah, tetapi integritas dan kejujuran adalah fondasi untuk kehidupan yang penuh makna, karena kejujuran itu bukan hanya tentang bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mendamaikan dan menentramkan. 

Ingatlah pada peringatan Tuhan di Surah Al Ahzab ayat 70-71; ”Yâ ayyuhalladzîna âmanuttaqullâha wa qûlû qaulan sadîdâ. yushliḫ lakum a‘mâlakum wa yaghfir lakum dzunûbakum...” Terjemahannya: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Tuhan dan ucapkanlah perkataan yang benar (jujur), niscaya Dia (Tuhan) akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu.

Penulis : adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


0 Komentar