BidikNews.net,Mataram - Operasi Tangkap Tangan atau OTT Kepala Daerah, dari bupati, walikota, hingga gubernur, selalu membuat kita geram dan mengelus dada. Bukan sekali dua kali, tapi sering sekali berita OTT Kepala Daerah mewarnai pemberitaan.
Selain sifat serakah, ada penyebab lainnya mengapa kepala daerah korupsi, yaitu tingginya biaya politik ketika mereka mencalonkan diri.
ICW mencatat biaya politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying).
Untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode (Lima Tahun).
Biaya politik yang mahal membuat para calon kepala daerah menerima bantuan dari donatur atau sponsor. Bahkan, biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah pada Pilkada jauh lebih besar dari harta kekayaan yang dimilikinya. Hal ini menjadi perhatian KPK yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan.
Dengan menerima bantuan sponsor, para calon kepala daerah merasa utang budi dan harus membayar "kebaikan" tersebut. Akhirnya hal ini menimbulkan konflik kepentingan yang mendorong mereka untuk korupsi.
Harapan sponsor jika calon mereka menang antara lain kemudahan untuk perizinan, tender proyek, keamanan bisnis, akses menentukan kebijakan daerah, hingga akses agar kolega bisa menjabat di pemerintahan.
"Bagaimana mereka mengembalikan utang (politik) itu? Mereka akan mencarikan proyek dan diberikan ke donatur, selesai utangnya. Dari mana uangnya? tentunya dari APBD, APBN. Konflik kepentingan tersebut pada akhirnya akan melahirkan korupsi dana pemerintah.
Pengamatan KPK, ada lima modus korupsi yang biasa dilakukan oleh para kepala daerah. Kelima modus tersebut adalah; melakukan intervensi dalam penggunaan APBD; campur tangan dalam pengelolaan penerimaan daerah; ikut menentukan dalam pelaksanaan perizinan dengan pemerasan, benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang jasa dan manajemen ASN seperti rotasi, mutasi, dan pengangkatan pegawai; dan penyalahgunaan wewenang terkait pengangkatan dan penempatan jabatan pada orang dekat, pemerasan dalam proses rotasi, mutasi, dan promosi.
Menurut ICW sumber utama korupsi kepala daerah ada pada partai politik. Politik berbiaya tinggi menurut ICW terjadi karena partai tak ubahnya sebagai mesin pengumpul dana jelang pemilu. Kader instan dengan modalitas besar bermunculan, menyingkirkan kader potensial dari internal partai.
Diharapkan ke depannya kita tidak akan lagi melihat ada kepala-kepala daerah yang diborgol sambil mengenakan rompi oranye. Karena miris sekali menyaksikan orang yang dipercaya bisa membangun daerah kita, malah berkhianat.
Pada bagian lain, Kepala Kejaksaan Agung (Kajagung) RI, ST Burhanuddin menekankan, Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum sangat berkepentingan terhadap tinggi-rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Oleh karena itu Kajagung meminta jajaran kejaksaan baik di pusat, Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) proaktif memberantas korupsi.
Kajagung memerintahkan untuk melakukan penindakan kepada kepala daerah, wakil maupun pejabat yang menduduki jabatan strategis, jika terbukti melakukan korupsi. Hal ini disampaikan Kajagung terkait masih adanya laporan, kepala daerah dan wakil serta mereka yang memimpin instansi di daerah belum atau tidak ditindak oleh Kejati maupun Kejari.
Tentu saja masyarakat jangan dibuat susah dengan prilaku koruptif penyelenggara negara. Tugas seorang kepala daerah dan wakilnya adalah menjaga stabilitas ekonomi rakyat, bantu masyarakat yang akan melakukan giat usaha, kepala daerah dan wakil, serta pejabat daerah jangan mencari untung dengan memperkaya diri," ucap Jaksa Agung.
"Saya minta jangan ada aparat kejaksaan baik itu Kejati dan Kejari yang melakukan pembiaran terhadap oknum kepala daerah, wakil yang terindikasi melakukan tindak korupsi. Seret jika terbukti terlibat, jangan pandang bulu. Aparat kejaksaan yang sengaja menutupi dugaan kasus korupsi akan saya copot dan pecat jika lalai menjalankan tugas," sebut Kajagung.
Dia juga meminta media dan masyarakat membantu kerja kejaksaan dalam rangka memberantas korupsi.
"Jangan ragu lapor saja, media juga silahkan membuat informasi jika ada kepala daerah, wakil maupun pejabat daerah yang disinyalir terlibat korupsi namun belum ada penindakan," urai Kajagung.
Tidak lupa, Jaksa Agung mengajak Kajati dan Kajari beserta seluruh jajaran, mengubah cara berpikir dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Pewarta: TIM
0 Komentar