Sumbu Pendek: Kegagalan Mengelola Emosi Oleh Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd


Ungkapan "sumbunya kurang panjang" analogi yang sering kali digunakan untuk menggambarkan kepribadian atau sikap yang mencerminkan kurangnya kemampuan diri dalam mengelola emosi, terutama dalam situasi yang menantang atau penuh tekanan. 

Istilah "sumbu pendek" terinspirasi dari sumbu mercon dengan ukuran pendek mengacu pada durasi waktu yang singkat sampai kepada terjadinya ledakan, analogi yang menggambarkan ketidakmampuan individu untuk menahan reaksi dalam waktu yang cukup lama. 

Analogi sumbu mercon yang pendek membantu memperjelas konsep sebagai representasi dari ketidakmampuan untuk mengelola emosi dan reaksi dengan baik. Dengan memahami karakteristik ini, kita dapat mengambil pelajaran untuk lebih sadar akan pentingnya pengendalian diri dan keterampilan mengelola emosi dalam menciptakan interaksi yang lebih baik.

Kepribadian yang diumpamakan dengan "sumbu pendek" mencerminkan kecenderungan untuk bereaksi secara emosional dengan cepat dan intens terhadap situasi tertentu. Hal ini sering kali berkaitan dengan faktor lingkungan, psikologis, serta kurangnya keterampilan dalam mengelola emosi. 

Seseorang dengan sumbu pendek biasanya bereaksi secara eksplosif dan langsung terhadap hal-hal yang membuat dirinya lepas kontrol. Mereka cenderung meluapkan emosi dengan kemarahan yang terlihat jelas, entah itu dalam bentuk kata-kata kasar, teriakan, atau tindakan impulsif lainnya.

Dalam tataran praktis, kita dapat menyaksikan pribadi sumbu pendek ketika berdiskusi misalnya, seseorang dengan sumbu pendek akan mudah tersulut emosi atau cepat marah ketika terlibat dalam percakapan atau perdebatan. Orang dengan sumbu pendek biasanya sulit menerima perbedaan pendapat dan cepat merespon dengan emosi ketika topik yang dibahas seharusnya bisa disikapi dengan tenang dan rasional.

Orang yang kurang terlatih dalam mengendalikan emosi cenderung bereaksi secara impulsif ketika merasa tidak setuju atau tersinggung. Ketika seseorang merasa tidak menguasai topik diskusi, mereka mungkin merasa terancam dan merespons dengan cara defensif atau marah untuk menutupi ketidakpastian mereka. Orang yang merasa pendapat atau keyakinannya lebih superior daripada orang lain, mungkin tidak siap menerima kritik atau pendapat yang berbeda. 

Jadi istilah sumbu pendek saat berdebat lebih mengacu pada kecenderungan untuk cepat marah atau tersinggung ketika argumennya ditantang atau ketika berhadapan dengan perbedaan pendapat. Ini bisa mengganggu jalannya perdebatan karena reaksi emosional yang berlebihan sering kali menutup ruang untuk argumen yang rasional dan logis. 

Kemudian analogi sumbu pendek kita dapat lihat juga ketika dalam rapat, ini mengacu pada situasi di mana seseorang cepat kehilangan kesabaran selama pertemuan, baik karena perbedaan pendapat, tekanan waktu, atau ketidakpuasan terhadap jalannya diskusi. Orang dengan sumbu pendek dalam rapat sering merespons situasi dengan emosi negatif, yang bisa mengganggu produktivitas dan menciptakan suasana tidak nyaman. 

Ketika suatu ide atau opini yang disampaikan ditolak atau ditentang, mereka merespon dengan kemarahan atau kekecewaan yang berlebihan, sering kali tanpa mempertimbangkan alasan dibalik penolakan tersebut. Orang dengan sumbu pendek sering kali memotong pembicaraan orang lain dan tidak memberi ruang bagi peserta lain untuk menyampaikan pendapat mereka secara lengkap. Nada suara yang tinggi atau terkesan agresif sering digunakan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan, dan ini bisa membuat suasana rapat menjadi tegang. 

Mereka mungkin menunjukkan ketidaksabaran terhadap diskusi yang dianggap terlalu lama, terlalu rinci, atau tidak langsung menuju keputusan, maka orang dengan sumbu pendek sering kali menekan untuk mempercepat proses tanpa mempertimbangkan kualitas. 

Selanjutnya analogi sumbu pendek juga dapat kita amati pada sebagian pemimpin, merujuk pada kecenderungan untuk lepas kontrol, tidak sabar, atau bereaksi secara emosional saat menghadapi tantangan, konflik, atau kesalahan. Pemimpin dengan sumbu pendek sering bereaksi dengan marah ketika menghadapi situasi yang tidak sesuai harapan, baik itu kesalahan kecil, keterlambatan, atau masalah internal tim. 

Ketika ada masalah atau hambatan dalam pekerjaan, pemimpin dengan sumbu pendek tidak dapat bersikap tenang atau berpikir jernih. Mereka cepat merasa frustrasi dan cenderung memperkeruh suasana daripada mencari solusi. Pemimpin dengan sumbu pendek mungkin sulit mendengarkan masukan atau kritik, karena mereka cenderung bereaksi defensif atau emosional ketika pendapatnya dipertanyakan. 

Selain pada aktivitas harian, analogi sumbu pendek juga terjadi dalam ranah toleransi yang mengacu pada kecenderungan seseorang untuk cepat kehilangan kesabaran, bersikap tidak terbuka, atau bereaksi negatif ketika dihadapkan pada perbedaan, baik itu perbedaan pendapat, keyakinan, budaya, atau nilai-nilai. Orang dengan sumbu pendek dalam toleransi biasanya kesulitan untuk menerima atau menghormati pandangan yang berbeda, sehingga sering kali menyebabkan konflik, ketegangan sosial, dan keretakan hubungan interpersonal. 

Orang dengan sumbu pendek dalam toleransi mungkin cepat menarik kesimpulan negatif atau menghakimi orang lain berdasarkan perbedaan pandangan atau kebiasaan, tanpa upaya untuk memahami sudut pandang yang berbeda. Daripada berusaha memahami atau berbicara dengan orang yang berbeda pandangan, mereka cenderung menghindari diskusi atau memotong pembicaraan karena merasa frustrasi atau marah. Perbedaan, meskipun kecil, dapat memicu reaksi emosional yang berlebihan, seolah-olah perbedaan itu merupakan ancaman terhadap keyakinan pribadi. 


Sumbu pendek dalam hubungannya dengan ibadah juga bisa terjadi, ketika kita merujuk pada kurangnya ketenangan batin dan keterhubungan spiritual yang mendalam dengan Tuhan, yang dapat menghambat seseorang untuk merasakan hikmah, kesabaran, dan kepasrahan dalam menjalani proses ibadah serta menghadapi ujian hidup. 

Saat doa misalnya di mana harapan tidak segera terkabul, seseorang dengan sumbu pendek mungkin cepat merasa putus asa atau merasa bahwa Tuhan tidak mendengar atau tidak peduli dengan permohonan mereka. Ketika mengalami gangguan selama ibadah, seperti kebisingan, kesibukan, atau godaan duniawi, sehingga sulit untuk kembali fokus pada ibadah. 

Seseorang mungkin merasa frustrasi dengan ketidakmampuan mereka untuk menjalani ibadah dengan sempurna, seperti kesulitan dalam menjaga konsentrasi atau khusyuk dalam salat, yang akhirnya membuat mereka mudah kecewa pada diri sendiri. Alih-alih merasakan kedamaian dalam beribadah, orang dengan sumbu pendek bisa merasa terbebani oleh rutinitas ibadah, merasa itu adalah tugas berat dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Dan masih banyak ranah kehidupan yang dapat memanifestasikan analogi sumbu pendek apabila kita runut dari elemen-elemen kehidupan kita, namun sebagai catatan pinggir, bahwa Islam menghendaki agar setiap diri senantiasa berlatih untuk tidak bersumbu pendek, dengan berusaha mengedepankan sikap kesabaran, ketenangan, dan kedewasaan emosional dalam segala situasi dan kondisi. 

Dalam konteks ini Islam menghendaki agar kita senantiasa "bersumbu panjang", merujuk pada kemampuan untuk menahan diri dari ledakan emosi atau reaksi cepat yang merugikan. Sumbu panjang menggambarkan kontrol diri yang kuat, khususnya ketika menghadapi situasi yang memicu kemarahan atau frustrasi. 

Al-qur’an menuntun kita dengan sangat indah untuk senantiasa menghindari menjadi sumbu pendek dengan  sabar dan salat. ”Yā ayyuhallażīna āmanusta'īnụ biṣ-ṣabri waṣ-ṣalāh, innallāha ma'aṣ-ṣābirīn”. Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Tuhan) dengan sabar dan salat. Sungguh, Tuhan beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah ayat 153).

Penulis: Adalah Wakil Rektor II UIN Mataram



0 Komentar