MANUSIA sebagai makhluk hidup, tidak satupun dalam menata hidupnya tidak ingin menggapai kabahagiaan. Insan yang berakal, akan berlomba-lomba mencari jalan untuk menuju kebahagiaan meskipun hanya sedikit dan sesaat. Berbagai ikhtiar dilakukan untuk mendapat kebahagiaan, meski tenaga, pikiran bahkan nyawapun dipertaruhkan untuk mendapatkannya.
Dinamika kehidupan dunia yang relatif cepat berproses menuju kemajuan dan modern, berdampak pada sikap dan prilaku manusia untuk mengiktui arah perkembangan zaman tersebut, dengan tetap menjadikan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia adalah tujuan utama. Guna menggapai tujuan tersebut, barbagai aktivitas dilakukan agar memberikan hasil yang mengarah pada pencapaian tujuan kehidupan tersebut.
Kebahagiaan atau bahagia secara umum bermakna suatu kondisi atau keadaan tenang, tentram, terlepas dari segala yang menyusahkan atau secara negatif dapat dinyatakan kebahagiaan adalah lawan dari penderitaan. Dengan demikian kebahagiaan atau bahagia adalah kondisi yang dialami oleh seseorang dalam keadaan menyenangkan tidak merasa kekurangan dan semuanya telah terpenuhi.
Manusia menyadari bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan yang dikejar hanya bersifat sesaat dan sementara. Namun kebahagiaan yang sesaat ini selalu dikejar-kejar agar diperoleh, dirasakan dan dinikmati. Berbagai strategi dan siasat disusun dan dirancang untuk menggapainya, meskipun melanggar ketentuan dan aturan yang berlaku.
Prinsip bebas nilai diterapkan dengan melakukan cara-cara kotor dan dholim. Patut dan layak tidak diikuti terpenting yang diinginkan dapat digapai dan diperoleh. Halal dan haram tidak menjadi pertimbangan yang penting dapat dinikmati dan dimiliki. Segala keinginan, kebutuhan harus diwujudkan, uang dan harta kekayaan harus ditumpuk, ketenangan, kenikmatan, kedamaian telah dirasakan meskipun semu dan sesaat.
Manusia lupa akan masa dan lama kehidupan di dunia yang terbatas. Lalai bahwa kenikmatan, kebahagiaan akan habis, berakhir dan akan ditinggalkan pada waktunya. Lupa bahwa kehidupan dunia adalah jembatan untuk menuju proses kehidupan selanjutnya. Manusia terlena dengan megah dan indahnya kehidupan dunia yang penuh sandiwara.
Demi mengejar untuk mencapai kebahagiaan mereka rela mengorbankan harga dan nilai diri, mengabaikan jiwa sosial, mengabaikan kepedulian dan solidaritas pada sesama, menutup mata terhadap dampak yang diperbuat, tidak mau tau dengan kondisi sesama dan lingkungan. Menutup mata terhadap segala musibah yang terjadi, menutup telinga dan pekak terhadap himbauan, ajakan dan larangan berbuat keonaran dan kerusakan.
Hatinya telah hilang dari rasa iba, haru, simpati, empati dan kasihan terhadap orang yang lemah dan tidak mampu. Dorongan nafsu egois, rakus, serakah dan tamak, mencaplok lahan-lahan milik individu orang lain dan milik bersama dijadikan milik sendiri. Menyuap sejak dari level bawah hingga level atas agar memuluskan niat, akal bulusnya agar memudahkan segala keinginan. Semuanya itu untuk mencapai kebahagiaan dengan memerankan diri sebagai budak dan hamba hawa nafsu.
Mereka tutup telinga akan firman Allah “bahwa kehidupan dunia ini adalah permainan dan senda gurau (Qs.Al-Imran; 185) . Dan juga lupa pada sabda Rasulullah “kejarlah kehidupan dunia seakan-akan engkau hidup selamanya, dan kejarlah kehidupan akhirat seakan-akan engkau mati besok (HR. Imam Al Basri).
Kita tatap bersama apa yang terjadi sekarang. Tataplah berbagai bala bencana dan musibah demi musibah yang datang silih berganti dengan aneka rupa yang sama atau berbeda. Musibah itu datang melanda lingkungan kita seperti kebakaran, tanah longsor, banjir, gempa bumi menerjang, menghancurkan, menghanyutkan, menghanguskan apa yang ada.
Harta kekayaan, tahta, jabatan serta kebutuhan yang diperoleh dan dirasakan sekarang merupakan sarana dan lambang untuk menggapai kebahagiaan dan kesejahteraan, namun hanya bersifat sesaat dan sementara. Kendati demikian, yang sesaat dan sementara itulah yang dikejar, diburu bahkan diperebutkan serta sebagai salah satu indicator ekonomi dan strata sosial.
Sebagai insan yang beriman dan memiliki kitab suci yang mengatur, menata kehidupan di dunia, meskipun dibaca dan dipedomani, tetapi tidak membekas, apalagi yang tidak pernah membaca sama sekali sekaligus tidak mempedomaninya dalam menjalani kehidupan di dunia. Demi mengejar kebahagiaan dan kesejahteraan, segala cara ditempuh, yang salah dbenarkan, yang benar disalahkan, yang normal diabnormalkan dan yang abnormal dinormalkan.
Demi ingin menggapai kebahagiaan, sejahtera dan terbebas dari jeratan kemiskinan material, rela menjantuhkan dirinya ke lembah yang hina. Demi untuk meraih uang dan jabatan, ia jual harkat dan nilai diri, dia obral pada harga yang serendah-rendahnya. Ia lakoni sandiwara kehidupan laksana binatang bahkan lebih rendah dan hina dari binatang.
Ia lululantahkan nilai keadilan, kedholiman ditampakkan, menindas kaum yang lemah menjadi menjadi bertambah lemah, ia bela mati-matian kaum yang berada meskipun salah, menjatuhkan fonis yang sangat ringan padahal kejahatannya berat, menjatuhkan fonis yang berat padahal kejahatannya ringan. Sungguh aneh prilaku dan tindakan sebahagian umat manusia yang mengaku beriman.
Setiap hari minimal pada waktu sholat ia mengaku kepada Allah tempat menyembah dan meminta petolongan dan minta kepada Allah untuk menunjuki jalan yang lurus. Tetapi aneh, setelah melakukan sholat dan berdo’a justru jalan bengkok yang penuh liku-liku ia lakoni dan menjadi kebanggaannya. Dengan jalan itulah kebahagiaan yang didamba diperolehnya.
SIRNANYA KEBAHAGIAAN SESAAT
Keadaan yang dirasakan oleh manusia selama menjalani kehidupannya di dunia mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Terkadang berjalan dalam rentang waktu yang pendek, menengah dan panjang. Kebahagiaan akan mengikuti arah dan langkah usaha manusia memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Sejatinya kebahagiaan itu sangat relative dan sulit untuk menentukan indicator yang pasti untuk mengukurnya. Yang jelas kebahagiaan merupakan suatu kondisi yang tengah dirasakaan manusia pada saat sekarang.
Kebahagiaan yang dirasakan manusia akan sirna manakala manusia merasakan keadaan hari ini berbeda dengan keadaan sebelumnya, atau yang tengah dihadapi sekarang tidak berada dalam suasana tenang dan nyaman. Sebaliknya merasakan adanya keresahan, gelisah dan ketidaktentraman jiwa, raga. Pikiran kacau, apa yang dilakukan tidak bermakna dan bahkan sama sekali tidak dapat menghasilkan yang beraura positif.
Tatkala sebahagian orang tengah menikmati kebahagiaan kehidupan, memanfaatkan harta kekayaan, menghitung-hitungnya, memamerkannya pada orang lain, tiba-tiba hal itu hilang dalam sekejap dan pergi meninggalkannya. Tanpa disadarinya bahwa ia tengah berada dalam keadaan yang tidak menentu, langkah kaki dan ayunan tangan seakan-akan tidak diketahuinya.
Tatkala ujian datang menimpa diri berupa penyakit baik yang ringan maupun berat, akan berdampak langsung terhadap kebahagiaan yang dirasakan. Untuk mengobati penyakit harus mengorek kekayaan yang sudah ditimbun, terlebih penyakit yang menahun. Uang yang dikejar, harta yang dihimpun, pakaian yang dikenakan dengan atributnya yang berkemilau, semuanya ditinggal dan tidak dimanfaatkan. Rasa kebahagiaan terus berkurang dan secara perlahan sirna.
Musibah banjir, gempa bumi, kebakaran yang datang menimpa dan melanda dalam waktu sekejap menghanyutkan, mengubur dan menghanguskan harta kekayaan yang dimiliki. Harta kekayaan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan telah pergi meninggalkan kita. Kebahagiaan berupa senyuman berubah menjadi tangisan, ratapan bahkan histeris. Waktu, tenaga yang dicurahkan untuk menghimpun uang dan kekayaan dalam hitungan detik, menit atau jam pergi tak akan kembali. Kondisi bahagia, tenang dan nyaman berubah menjadi susah, derita dan nestapa.
Pada saat inilah manusia tengah berkeluh kesah, saling menyalahkan satu sama lain sebagai biang datangnya bencana. Namun semuanya itu tidak bermakna, karena harta dan kekayaan telah hilang dari genggaman kecuali sedikit yang tertinggal. Saat yang sama menggaungkan Asma Allah secara serentak bergema, Allah diharapkan hadir untuk mengatasi musibah dan ujian yang tengah dihadapi, dan mengaku tidak daya dan kekuatan yang dimiliki oleh manusia melainkan hanya Allah semata yang memiliki.
Musibah dan ujian merupakan sunnatullah, karena Allah telah berfirman bahwa “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155).
Kebahagiaan sesaat diperoleh hanyalah ketika manusia menjalani kehidupan di dunia. Kebahagiaan itu akan sirna jika manusia telah mengakhiri jatah kehidupannya di dunia (meninggal dunia). Semua yang dihimpun dan dikejar guna menggapai bahagia tidak akan bersama dan berpisah dengan badan yang terbujur kaku.
Kehidupan dunia yang mengalami perubahan sangat cepat mengakibatkan kebahagiaan yang diperoleh berganti dengan kesusahan dan kesedihan. Satu yang melekat pada setiap diri bahwa manusia makhluk yang sempurna tetapi memiliki keterbatasan, yang menyebabkan kebahagiaan itu tidak pula dapat dirasakan secara sempurna. Itulah kebahagiaan dunia yang dikejar dan dicari, keberadaannya bersifat sesaat, tidak permanen dan akan silih berganti dengan hadirnya kesedihan, kesusahan dan penderitaan.
Penulis: 1. Adalah Dosen FEB Universitas Mataram. dan Ketua Umum Rukun Keluarga Bima Pulau Lombok.
0 Komentar