![]() |
Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd, Wakil Rektor II UIN Mataram |
TERKADANG hidup ini tidak jarang melukai dengan cara yang tak terduga, luka yang meninggalkan bekas kecewa, galau, penyesalan, maupun kesedihan. Seperti luka yang diakibatkan oleh rencana yang gagal, dikhianati oleh kawan dan sahabat, musibah berupa bencana alam, bahkan terkadang mimpi yang sudah diperjuangkan hilang begitu saja. Ketahuilah, bahwa luka yang diberikan oleh kehidupan, bisa jadi sekenario Tuhan untuk merangkul kita agar dekat dengan-Nya.
Sakit yang tiba-tiba kita derita saat di mana kita ketat menjaga kesehatan, maka sakit itu bisa berubah menjadi anugerah untuk mendekat kepada Tuhan, bisa menjadi sarana untuk merenungkan kelemahan diri, bersabar, dan semakin berserah kepada Yang di atas. Justru dalam kondisi lemah, doa dan munajat kita bisa menjadi lebih tulus. Oleh karena itu, jika sakit datang meski kita sudah menjaga kesehatan, berperasangka baiklah, bahwa kondisi itu kita jadikan sebagai signal bahwa Tuhan menginginkan kita agar lebih dekat kepada-Nya.
Kemudian dalam perjalanan hidup, kita sering kali berusaha menjaga diri dengan berbagai cara. Kita menerapkan pola hidup sehat untuk menghindari penyakit, menjaga lingkungan agar terhindar dari bencana, dan berhati-hati dalam setiap tindakan untuk menghindari bahaya. Namun meskipun telah berupaya sebaik mungkin, ada kalanya musibah tetap datang tanpa diduga. Gempa bumi, banjir, kebakaran, atau peristiwa mendadak lainnya terjadi di saat kita merasa sudah cukup berhati-hati dan waspada.
Dalam Islam, bencana atau musibah bukan hukuman atau azab, akan tetapi bisa menjadi ujian dan cara Tuhan untuk mengangkat derajat hamba-Nya. "Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
![]() |
Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd bersama Rektor UIN Mataram, Prof. DR. H. Masnun Tahir, M. Ag |
Tidak ada manusia yang bisa terhindar dari ujian, karena justru ujianlah yang membentuk keteguhan iman. Ketika bencana datang di saat kita merasa telah menjaga kewaspadaan dengan baik, hal itu seharusnya semakin mempertegas kesadaran diri bahwa kita tidak memiliki kendali mutlak atas kehidupan ini. Ada kehendak Tuhan yang lebih besar, yang melampaui segala ikhtiar manusia.
Secara lahiriah, bencana tampak sebagai sesuatu yang merugikan, tetapi bagi yang memiliki hati yang jernih, ia bisa menjadi anugerah. Ketika selama ini kita menjaga diri dan lingkungan dengan baik, namun tetap mengalami bencana, maka hal itu bisa saja menjadi pengingat untuk mendekat kepada Tuhan. Pilihan sikap kita terhadap musibah itulah yang menentukan apakah ia menjadi hukuman atau justru anugerah yang menyelamatkan kita di akhirat kelak.
Selanjutnya kegagalan yang kita alami saat di mana kita maksimal dalam berikhtiar, maka kegagalan itu menjadi anugerah untuk mendekat kepada-Nya. Kegagalan yang kita alami meskipun telah berikhtiar maksimal bukanlah akhir, tetapi bisa saja menjadi sekenario Tuhan yang mengajarkan hikmah dan mendekatkan kita kepada-Nya. Dalam konsep agama, kegagalan itu menjadi sarana pembelajaran untuk lebih bergantung kepada-Nya, mungkin Tuhan sedang melindungi kita dari sesuatu yang lebih buruk, atau mungkin Dia sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik di masa depan.
Maka, dalam setiap kegagalan, tetaplah bersabar dan ber-husnu’dzon kepada Tuhan. Sebab, bisa jadi kegagalan hari ini adalah jalan menuju keberhasilan yang lebih besar di kemudian hari. Tetap berusaha, tetap berdoa, dan tetap percaya bahwa rencana Tuhan selalu yang terbaik.
Begitu pula dengan kehilangan yang kita terima saat di mana kita maksimal menjaga milik kita, maka kehilangan itu menjadi anugerah bagi kita untuk mendekat kepada-Nya. Dan bisa jadi sebagai bagian dari cara Tuhan untuk mengajarkan kita tentang hakikat kepemilikan sejati.
Maka, jika kita mengalami kehilangan, terimalah dengan kesabaran dan keyakinan bahwa Tuhan pasti menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik, karena sejatinya, kehilangan di dunia hanyalah bagian dari perjalanan menuju sesuatu yang lebih kekal.
Selanjutnya pengkhianatan yang kita terima saat di mana kita sangat percaya, maka pengkhianatan itu menjadi anugerah yang mengantarkan kita untuk mendekat kepada Tuhan. Agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak sempurna, kepercayaan bisa dikhianati, janji bisa dilanggar, tetapi Tuhan tidak pernah mengkhianati hamba-Nya. Justru, melalui pengkhianatan yang kita alami, sesungguhnya Tuhan sedang menunjukkan kepada kita bahwa tempat bergantung yang sejati hanyalah Dia."Cukuplah Tuhan sebagai Pelindung, dan cukuplah Tuhan sebagai Penolong." (QS. An-Nisa: 81).
![]() |
Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd ketika di negara Timur Tengah (Mesir) |
Maka, jika kita dikhianati, jangan larut dalam kesedihan atau kebencian, sebaliknya, jadikan kondisi itu sebagai pengingat bahwa Tuhanlah satu-satunya tempat bergantung yang tidak akan pernah mengecewakan. Percayalah, Tuhan pasti akan menggantikan dengan orang-orang yang lebih baik dan menghadirkan hikmah di balik semua yang terjadi.
Sebagai catatan pinggir, bahwa dalam setiap ujian yang menimpa—baik itu sakit, musibah, kegagalan, kehilangan, maupun pengkhianatan—terdapat pesan cinta Tuhan yang tersembunyi. Ujian bukanlah hukuman, melainkan jalan untuk mendekat kepada-Nya, memperkuat keimanan, dan menyadarkan kita akan keterbatasan.
Patut untuk kita renungkan, bahwa dalam setiap luka, jangan hanya melihat kesakitan, tetapi temukanlah kasih sayang Tuhan yang merangkul, sebab di balik setiap cobaan, ada rencana-Nya yang jauh lebih indah, ada ketetapan-Nya yang lebih baik, dan ada kasih sayang-Nya yang tidak pernah pudar.
Penulis : adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
0 Komentar