Hikmah Jum`at, 11 April 2025
Idul fitri dalam tradisi Islam adalah hari kemenangan—bukan dalam arti peperangan atau persaingan duniawi, melainkan kemenangan jiwa atas hawa nafsu, kemenangan kesabaran atas cobaan, dan kemenangan iman atas keraguan. Namun kemenangan seperti apakah yang patut dirayakan jika setelahnya tidak ada perubahan yang nyata dalam diri kita? Pertanyaan ini menggugah kita untuk merefleksikan makna terdalam dari kemenangan yang kita klaim setiap 1 Syawwal.
Secara spiritual, Ramadan adalah ruang pembentukan jiwa, tempat latihan besar-besaran untuk mencapai takwa. Maka Idul fitri seharusnya menjadi momen transformasi—maksudnya adalah bahwa hari raya ini bukan sekadar berpindah kondisi fisik—dari lapar menjadi kenyang, dari masjid ke rumah, dari kebersamaan menuju kesendirian—tetapi yang lebih penting adalah berubah dalam kondisi mental, dari hamba yang sibuk dengan dunia menjadi sadar akan akhirat, dari hati yang keras menjadi lembut; dari akhlak yang kasar menjadi halus dan terjaga.
Banyak orang mengalami transisi, tapi tidak mengalami transformasi. Transisi adalah perubahan bentuk luar—Puasa selesai, maka makan dan minum kembali dilakukan bebas. Tarawih usai, maka malam-malam kembali menjadi sunyi. Masjid yang ramai kembali menjadi sepi. Beda dengan transformasi yakni perubahan nilai dan kesadaran—dulu menahan diri karena puasa, kini menahan diri karena iman. Dulu terbangun karena sahur, kini terbangun karena tahajud. Dulu menjaga lisan karena Ramadan, kini menjaga lisan karena sadar akan pengawasan Tuhan.
Tanpa transformasi, maka Ramadan dan Idul fitri hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa makna. Sebagaimana ungkapan dalam agama: “Celakalah mereka yang hanya mendapatkan lapar dan haus dari puasanya”.
Idul fitri datang bukan hanya untuk dirayakan, tapi untuk diresapi, karena ia menjadi cermin, apakah kini kita lebih sabar? Apakah kita lebih jujur? Apakah kita lebih dermawan, lebih peduli, lebih halus dalam bertutur dan lebih bijak dalam bersikap?
Transformasi yang diharapkan dari Idul fitri adalah perubahan menuju manusia yang lebih bertakwa—karena tujuan utama puasa adalah “la‘allakum tattaqûn” agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Jika setelah Ramadan berakhir kita kembali membuka pintu maksiat yang sempat tertutup, kembali kasar kepada orang tua dan pasangan, kembali sibuk dengan diri dan abai pada sesama, maka kita hanya mengalami transisi, bukan transformasi.
Ramadan mempertemukan kita dengan kekuatan jamaah—berbuka bersama, tarawih berjamaah, itikaf di masjid, dan sedekah kolektif. Namun setelah Idul fitri, kita sering kembali sendiri-sendiri. Di sinilah letak ujian sebenarnya, apakah semangat Ramadan hanya hadir saat ramai, atau tetap menyala saat sendiri?
Transformasi sejatinya justru tampak setelah keramaian berlalu—ketika kita sendiri di rumah, di jalan, di tempat kerja, apakah amal tetap hidup? Apakah hati tetap bersih? Apakah semangat berbagi tetap ada?
Idul fitri bukanlah garis akhir, bukan pesta penutupan, melainkan deklarasi kelahiran kembali sebagai pribadi yang lebih suci, lebih lembut, lebih tunduk kepada Tuhan, tanpa perubahan dalam jiwa dan moral, maka Idul fitri hanya menjadi ritual tahunan tanpa ruh.
Maka benarlah ungkapan bijak, “Idul fitri bukan tentang berganti pakaian, akan tetapi berganti sikap. Bukan tentang makanan melimpah, tetapi hati yang lapang.” Ironisnya, tidak sedikit yang merayakan Idul fitri hanya sebagai ajang pesta dan kemeriahan sosial, sementara hakikat spiritualnya terabaikan. Banyak yang kembali pada kebiasaan lama, pada amarah yang mudah tersulut, lisan yang tak terjaga, dan hati yang masih dipenuhi kesombongan dan dendam. Jika demikian, apakah benar kita telah menang?
Ingatlah bahwa takwa sebagai tujuan puasa itu adalah kualitas internal yang tercermin dalam tindakan eksternal—akhlak, keputusan, dan relasi dengan sesama. Oleh karena itu, kemenangan sejati bukan sekadar berhasil menahan diri selama sebulan, akan tetapi kemenangan itu ketika hasilnya mewujud dalam perubahan karakter dan peningkatan akhlak setelah Ramadan berlalu.
Jika tidak ada peningkatan akhlak, apakah yang berubah? Jika lisan tetap tajam menyakiti, jika hati masih dikuasai iri dan dengki, jika amalan sosial tetap kering, maka kita patut bertanya, dampak apakah yang kita dapat dari berpuasa?
Ingatlah bahwa Idul fitri secara bahasa berarti “kembali berbuka” dan secara makna spiritual berarti “kembali ke fitrah”. Jika setelah Lebaran kita tetap tidak bisa menahan diri dari dosa yang sama, maka kita mungkin hanya kembali berbuka, tapi tidak kembali ke fitrah.
Inilah yang disebut sebagai kemenangan tanpa perubahan—sebuah kekosongan makna dalam kemenangan, semacam seremoni spiritual yang tidak membekas pada realitas hidup. Kita mungkin bersih dari dosa ritual, tetapi tetap bergelimang dalam dosa sosial dan moral.
Orang yang benar-benar menang dalam Ramadan bukan yang paling khusyuk saat tarawih, tetapi yang akhlaknya tetap terjaga setelah Ramadan pergi. Sebagaimana Imam Al-Ghazali mengatakan, “Jangan engkau menjadi seperti orang yang menenun di malam hari lalu merobeknya di siang hari.” Amal ibadah yang kita bangun selama Ramadan akan menjadi sia-sia jika tidak kita jaga kontinuitasnya.
Sebagai catatan pinggir, bahwa dunia tidak berubah oleh banyaknya orang yang berpuasa, melainkan oleh orang-orang yang jiwanya berubah karena puasa. Idul fitri bukan kemenangan dalam arti fisik, tetapi spiritual—kemenangan melawan ego, syahwat, dan penyakit hati. Jika kemenangan itu tidak membawa perubahan, maka yang dirayakan hanyalah kulitnya saja, bukan ruhnya. Maka mari kita bertanya kepada diri masing-masing, apakah kita benar-benar menang jika setelah Idul fitri kita tetap sama seperti sebelum Ramadan?.
Penulis : Adalah Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar