Prof.Dr.H. Maimun Zubair, M.Pd, Wakil Rektor 2 UIN Mataram
Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April jangan sampai sebatas terjebak dalam simbolisme atau seremoni yang serba formal dan sesaat, akan tetapi harus dimaknai sebagai momen reflektif dan transformatif, saat di mana kesadaran ekologis dibangkitkan dan ditanamkan, tidak hanya dalam aspek intelektual, tetapi juga dalam dimensi spiritual yang mendalam.
Dalam konteks masyarakat beragama, terutama umat Islam, Hari Bumi menjadi panggilan iman yang menegaskan bahwa menjaga bumi adalah bagian integral dari penghambaan kepada Tuhan, yang tercermin dalam perbuatan nyata seperti menjaga kelestarian alam, mengurangi kerusakan, dan menghargai hak ciptaan lainnya (Kesadaran Ekologis).
Kesadaran ekologis berbasis agama menuntut kita untuk tidak hanya melakukan sesuatu di Hari Bumi, tetapi juga menjadi manusia baru—yang berinteraksi dengan alam berdasarkan prinsip keimanan, tanggung jawab, dan cinta terhadap seluruh ciptaan-Nya.
Banyak kegiatan di Hari Bumi hanya berisi simbolisasi seperti kampanye ramah lingkungan, poster, seminar, dan seremoni penanaman pohon yang tidak berkelanjutan.
Meskipun niatnya baik, kegiatan tersebut terkadang hanya menjadi ritus tahunan yang bersifat kosmetik, ia hanya menyentuh permukaan, namun belum merambah akar yang sebenarnya, yaitu transformasi pola pikir (mindset) dan perilaku ekologis manusia yang bersumber dari kesadaran spiritual dan etis.
Di sinilah pentingnya langkah konkret seperti yang dilakukan oleh Kementerian Agama, yakni menginstruksikan kepada seluruh aparaturnya untuk menanam seribu pohon matoa di lingkungan tempat kerja masing-masing. Ini bukan sekadar aksi tanam pohon, tetapi merupakan bentuk nyata dari penginternalisasian nilai agama dalam tindakan ekologis sehari-hari.
Pemilihan pohon matoa dalam aksi penanaman ini juga memiliki nilai filosofis yang menarik. Matoa, pohon asli Indonesia, bukan hanya kuat secara fisik dan tumbuh cepat, tetapi juga menghasilkan buah yang bermanfaat. Ini adalah simbol dari keberlanjutan, ketahanan, dan kearifan lokal yang merupakan tiga nilai penting dalam agenda lingkungan hidup, dan ketiganya bukan sekadar jargon, tetapi fondasi kokoh bagi pembangunan lingkungan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berakar pada budaya bangsa.
Keberlanjutan (Sustainability) adalah nilai paling mendasar dalam gerakan lingkungan hidup. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap aktivitas manusia hari ini harus dilakukan dengan memperhitungkan dampaknya bagi generasi mendatang.
Dalam Islam, konsep ini dikenal dengan istilah amanah — bumi adalah titipan yang harus dijaga, bukan untuk dieksploitasi. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56).
Ketahanan (Resilience) ekologis berarti kemampuan suatu ekosistem atau komunitas untuk pulih dari gangguan, krisis, atau perubahan yang ekstrem, baik itu bencana alam, perubahan iklim, maupun eksploitasi manusia. Nilai ini menekankan pentingnya sistem yang tangguh dan adaptif — baik secara alami maupun sosial. Pohon misalnya, menjadi simbol ketahanan, akarnya menghujam ke bumi, daunnya menangkap cahaya, dan batangnya tetap tegak meski diterpa badai.
Dalam masyarakat, ketahanan muncul melalui solidaritas, inovasi, dan pendidikan ekologis yang terus dikembangkan. Sebuah masyarakat dikatakan tangguh ketika ia tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga mampu beradaptasi dan memperbaiki diri dalam menghadapi tantangan lingkungan.
Kearifan lokal adalah pengetahuan dan praktik masyarakat adat yang diwariskan turun-temurun dalam menjaga harmoni dengan alam.
Dalam konteks Indonesia, nilai ini sangat relevan karena banyak komunitas adat telah terbukti mampu menjaga lingkungan selama ratusan tahun dengan cara yang selaras, efisien, dan spiritual.
Misalnya, masyarakat adat di berbagai daerah memiliki sistem pengelolaan hutan, air, dan pertanian yang berkelanjutan, seperti hutan kemalik atau bebieq dalam budaya Sasak Lombok, konsep larangan mengganggu hutan secara sembarangan. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal adalah aset ekologis yang tak ternilai harganya.
Menanam matoa bukan hanya memberikan keteduhan secara fisik, tetapi juga memperkuat akar ekologis dalam budaya bangsa, bahwa pohon bukan sekadar tumbuhan, melainkan bagian dari ritme kehidupan yang suci.
Instruksi Kementerian Agama untuk menanam pohon matoa merupakan bentuk konkret bahwa kesadaran ekologis harus berakar pada nilai agama dan diwujudkan dalam tindakan nyata dan terus menerus.
Dalam ajaran Islam, menanam pohon merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan. "Tidaklah seorang Muslim menanam sebuah pohon atau menabur benih, kemudian ada burung, manusia, atau binatang yang memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi penanaman pohon menjadi amal jariyah yang menghubungkan tanggung jawab ekologis dengan pahala ukhrawi. Dari itulah, maka menam pohon adalah bentuk ibadah ekologis — bukan hanya demi bumi, tapi juga demi akhirat.
Di samping itu, bahwa instruksi penanaman seribu pohon matoa kepada seluruh aparatur Kementerian Agama memberi pesan strategis, bahwa tanggung jawab menjaga lingkungan bukan hanya milik aktivis atau lembaga lingkungan hidup, tetapi menjadi tugas kolektif semua elemen negara, termasuk institusi keagamaan.
Setiap agama besar dunia memiliki prinsip dasar mengenai keterikatan manusia dengan alam. Dalam Islam, alam adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah (ayat-ayat kauniyah) sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur’an.
Alam bukanlah benda mati, tetapi entitas yang bertasbih kepada Allah. “Tidak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al-Isra’: 44). Artinya, merusak lingkungan bukan hanya merusak ciptaan, tetapi juga memutus harmoni spiritual yang telah diciptakan oleh Tuhan.
Dalam satu kesempatan Bapak Sekjen Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil H. Kamaruddin Amin, MA mengatakan sebagaimana dikutip dari Mataram Metro.com, mengatakan ”Kita ingin menjadikan gerakan Penanaman Pohon sebagai bentuk tanggung jawab moral dan aksi nyata dalam menjaga lingkungan. Perguruan tinggi keagamaan memiliki peran strategis dalam mengedukasi dan menggerakkan masyarakat menuju kesadaran ekologi berbasis nilai-nilai agama,”.
Pernyataan ini mencerminkan suatu kesadaran kolektif yang tidak hanya menempatkan isu lingkungan sebagai masalah teknis atau ilmiah semata, melainkan juga sebagai masalah etis dan spiritual, bahwa menjaga lingkungan bukanlah pilihan, melainkan tanggung jawab moral yang melekat pada setiap individu dan lembaga, termasuk perguruan tinggi keagamaan.
Tanggung jawab moral dalam konteks lingkungan berarti bahwa manusia harus sadar bahwa kerusakan alam tidak hanya berdampak pada fisik bumi, tetapi juga pada kehidupan generasi mendatang, makhluk hidup lain, dan tatanan kosmik.
Dalam kerangka keagamaan, alam adalah amanah (titipan Tuhan), dan manusia berperan sebagai khalifah (pemimpin/pemelihara) di bumi. Maka dari itu, merusak lingkungan berarti mengkhianati amanah dan melanggar nilai moral serta spiritual yang mendasar dalam agama.
Gerakan menjaga lingkungan tidak cukup hanya dibicarakan di ruang kelas atau seminar, ia harus diwujudkan dalam aksi nyata — mulai dari membangun sistem kampus hijau (green campus), mengelola sampah secara berkelanjutan, mengurangi penggunaan plastik, hingga mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam kurikulum dan pengabdian masyarakat. Aksi nyata menjadi bukti bahwa nilai-nilai agama bukan hanya dogma, tetapi sumber inspirasi perubahan sosial.
Kesadaran ekologi berbasis nilai-nilai agama adalah bentuk integrasi antara iman dan ilmu. Ia menuntut umat beragama tidak hanya memahami teks-teks suci, tetapi juga menafsirkan dan menerapkannya dalam konteks tantangan zaman modern, termasuk krisis lingkungan.
Dengan pendekatan ini, menjaga lingkungan tidak lagi dianggap sebagai urusan aktivis atau negara semata, melainkan menjadi bagian dari laku spiritual sehari-hari — seperti memaknai hemat energi sebagai bentuk zuhud, memilah sampah sebagai bentuk kebersihan yang merupakan sebagian dari iman, dan menanam pohon sebagai amal jariyah.
Dalam pernyataan yang lain, Bapak Sekjen Kementerian Agama RI juga menjelaskan kepada sivitas akademika UIN Mataram sebagaimana dikutip dari Mataram Metro.com, menyebutkan bahwa ajaran Islam memiliki prinsip kuat dalam menjaga keseimbangan alam, sehingga mahasiswa sebagai generasi penerus harus berperan aktif dalam upaya tersebut.
Pernyataan ini tidak sekadar menyampaikan ajakan moral, tetapi menggambarkan suatu visi penting bahwa kesadaran ekologis dalam Islam merupakan keniscayaan teologis dan bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab historis dan spiritual untuk menjadi agen perubahan dalam pelestarian lingkungan.
Ajaran Islam menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitatif, melainkan sebagai ciptaan Allah yang memiliki nilai dan fungsi tersendiri dalam tatanan kosmos. "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan mīzān (keseimbangan)." (QS. Ar-Rahman: 7)
Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh ciptaan Allah tunduk pada prinsip keseimbangan.
Alam semesta bergerak dalam keteraturan dan harmoni yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual. Ketika manusia merusak keseimbangan tersebut — melalui deforestasi, pencemaran, atau eksploitasi berlebihan — maka sesungguhnya secara tidak saadar telah mengganggu tatanan ilahi.
Perguruan tinggi, khususnya yang berbasis keislaman, harus mendukung agenda penguatan ekoteologi, melalui budaya riset berbasis keberlanjutan dan menciptakan kurikulum yang mengintegrasikan ilmu lingkungan dengan prinsip-prinsip syariah.
Sebagai catatan pinggir, bahwa akar ajaran Islam mengenai alam bukan sekadar nasihat moral atau perintah praktis, melainkan sebuah pandangan dunia (worldview) yang menyeluruh—di mana seluruh ciptaan, termasuk manusia, berada dalam tatanan kosmik yang harmonis.
Dalam Islam, bumi bukanlah milik mutlak manusia, melainkan amanah (titipan) dari Allah yang harus dijaga dan dirawat sebagaimana layaknya seorang khalifah (pemimpin) yang bertanggung jawab atas wilayah kekuasaannya.
Penulis: adalah Wakil Rektor 2 Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
0 Komentar