Introspeksi Sebelum Intervensi: Alegori Untuk Kepemimpinan Reflektif Oleh Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

Hikmah Jum`at, 09 Mei 2025


Mengawali tulisan kolom hikmah ini, ada satu kisah menarik dari suatu negeri kerajaan yang pantas untuk kita renungkan. Seorang raja akan berkeliling negeri untuk melihat keadaan rakyatnya, ia memutuskan untuk berjalan kaki saja, baru beberapa meter berjalan diluar istana kakinya terluka karena terantuk batu. Ia berfikir, "Ternyata jalan-jalan di negeriku ini jelek sekali", aku harus memperbaikinya.

Raja lalu memanggil seluruh menteri, ia memerintahkan untuk melapisi seluruh jalan-jalan di negerinya dengan kulit sapi terbaik, segera saja para menteri istana melakukan persiapan-persiapan. Merka mengumpulkan sapi-sapi seluruh negeri.

Ditengah-tengah kesibukan yang luar biasa itu, datanglah seorang petapa menghadap sang raja, ia berkata pada raja, "Wahai paduka! Mengapa paduka hendak mengumpulkan sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan-jalan di negeri ini, padahal sesungguhnya yang paduka perlukan hanyalah dua potong kulit sapi saja untuk alas kaki paduka."

Kisah tentang raja yang hendak melapisi seluruh jalan di negerinya dengan kulit sapi, namun kemudian disadarkan oleh seorang petapa bahwa yang ia butuhkan hanyalah dua potong kulit untuk alas kaki, merupakan alegori yang sangat dalam tentang perubahan, introspeksi diri, dan kebijaksanaan dalam bertindak. 

Raja dalam kisah tersebut adalah gambaran manusia pada umumnya yang ketika menghadapi ketidaknyamanan atau penderitaan, secara naluriah langsung menyalahkan lingkungan luar: jalan yang buruk, kondisi negeri, bahkan rakyatnya. Ia pun memutuskan untuk mengubah semuanya, padahal sumber masalahnya bukan terletak di luar, tetapi pada ketidaksiapan dirinya menghadapi realitas.

Manusia, secara naluriah, sering menggunakan mekanisme pertahanan diri, yang dalam teori psikologi namanya ”proyeksi”—yaitu menyalahkan faktor luar atas masalah yang sebenarnya berasal dari dalam diri. Dalam konteks ini, sang raja yang kakinya terluka tidak merenungkan kemungkinan bahwa dirinya tidak siap secara fisik atau tidak berpikir jauh sebelum bertindak, melainkan langsung menyalahkan kondisi jalan.

Ini adalah bentuk pengalihan tanggung jawab yang membuat seseorang merasa seolah-olah terbebas dari kesalahan, padahal masalahnya masih belum terselesaikan — karena akar masalahnya masih tersembunyi di dalam dirinya sendiri.

Ketika seseorang yang tengah berkuasa — seperti seorang raja, pemimpin, atau tokoh publik—bereaksi secara impulsif dan menyalahkan lingkungan eksternal, maka itu mencerminkan kepemimpinan yang reaktif, bukan reflektif. Dalam kasus ini, alih-alih menganalisis penyebab luka pada kakinya dan mencari solusi yang bijaksana, sang raja justru mengambil tindakan besar yang tidak relevan dengan akar masalah.

Kepemimpinan semacam ini kerap membuat kebijakan yang terlihat besar dan spektakuler, tetapi gagal menyentuh esensi persoalan, karena tidak diawali dengan introspeksi.

Banyak orang tidak siap secara mental dan emosional untuk menghadapi realitas yang tidak ideal, seperti realitas yang kasar, keras, dan tidak selalu sesuai harapan, maka yang terjadi adalah reaksi frustratif dan keinginan untuk mengubah dunia luar — padahal mungkin yang harus diubah terlebih dahulu adalah paradigma, ekspektasi, atau ketahanan pribadi dalam menyikapi kenyataan.

Mengubah dunia tanpa kesiapan diri hanya akan melahirkan kebijakan yang destruktif dan tidak berkelanjutan. Akar dari semua perubahan yang berkelanjutan dan bijaksana adalah kesadaran diri. 

Ketika seseorang mampu melihat bahwa luka pada kakinya terjadi karena ia tidak memakai alas kaki, maka solusi yang dibutuhkan adalah melindungi kakinya, bukan melapisi dunia. Inilah bentuk kedewasaan psikologis, kemampuan mengenali batas diri, memahami penyebab internal masalah, dan mengambil tanggung jawab atas solusi.

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd


Jadi kisah di atas mengajak kita untuk menempuh jalan kebijaksanaan, berhenti sejenak menyalahkan dunia, dan mulai melihat ke dalam diri. Dunia memang penuh tantangan, tetapi jika kita terus menuntut dunia untuk berubah tanpa mempersiapkan diri, kita hanya akan jatuh pada lingkaran keluhan tanpa solusi. 

Sebaliknya, ketika kita memperkuat diri — dengan kesabaran, wawasan, dan kebijaksanaan — maka bahkan jalanan paling berbatu pun bisa kita lewati dengan tegap. Kata orang bijak, “Mengubah dunia adalah impian besar, tetapi mengubah diri adalah langkah pertama menuju dunia yang lebih baik.”

Petapa dalam kisah di atas datang sebagai simbol kesadaran dan kebijaksanaan, ia menunjukkan bahwa ketimbang mengubah dunia luar secara berlebihan, akan lebih bijaksana dan efektif jika mengubah dirinya sendiri terlebih dahulu. 

Perubahan dalam segala lini kehidupan tidak bisa dimulai dari keinginan mengatur atau mengendalikan orang lain terlebih dahulu, akan tetapi harus diawali dari mengubah diri sendiri, seperti perubahan cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak (Introspeksi sebelum intervensi).

Dunia adalah ruang ujian, di mana hampir semua jalan berbatu, kasar, dan tak rata, jika kita berharap semua jalan menjadi lembut demi kenyamanan kita, yakinlah bahwa kita pasti akan kecewa, akan tetapi jika kita belajar mengatur langkah, kita bisa melewatinya tanpa luka.

"Innallaha la yughayyiru ma bi qoumin, hatta yughayyiru ma bi anfusihim". Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra'd: 11)

Ayat ini sejajar dengan pesan kisah di atas, bahwa perubahan sejati tidak dimulai dari luar, tapi dari dalam diri. Seorang pemimpin bijak, guru, orang tua, atau siapa pun yang ingin membawa perubahan, harus terlebih dahulu mampu mengubah dirinya sendiri yakni mengubah pemahamannya, karakternya, dan kebiasaannya.

Sebagai catatan pinggir, bahwa perubahan yang membawa dampak nyata tidak lahir dari obsesi menata segala hal di luar diri, tetapi berawal dari kesiapan batin untuk memahami, menerima, dan memperbaiki sisi dalam. Ketika seseorang mampu berhenti mencari kambing hitam atas ketidaknyamanan yang dialaminya, dan mulai menyelami sebab-musabab yang bersumber dari diri sendiri, saat itulah kebijaksanaan mulai tumbuh. 

Dunia mungkin tidak selalu bersahabat, tetapi dengan membangun kepekaan dan ketangguhan pribadi, setiap tantangan bisa dihadapi dengan lapang dan jernih. Transformasi sejati tidak tercipta dari reaksi impulsif, melainkan dari kesanggupan menata diri sebelum bertindak terhadap realitas.

Penulis : adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


0 Komentar