Hikmah Jum`at, 29 Mei 2025
TAHUKAH bahwa, ada satu pernyataan indah dari Nabi Ibrahim tentang pengalaman hidup yang tak terlupakan dan patut kita renungkan. Pernyataan itu berbunyi bahwa “hal yang paling mengesankan dalam hidup saya adalah tatkala berada di tengah bara api yang menyala”.
Ini merupakan ungkapan yang penuh makna spiritual dan eksistensial, bukan sekadar peristiwa mukjizat yang luar biasa, melainkan simbol dari puncak keimanan, keberanian, dan penyerahan total kepada Tuhan.
Bara api yang membakar Ibrahim bisa saja menjadi representasi dari ujian terberat dalam hidup Nabi Ibrahim. Ia dilemparkan ke dalam api bukan karena kesalahan, tetapi karena ketaatannya kepada Tuhan. Artinya api dalam kisah Nabi Ibrahim tersebut bukan sekadar elemen fisik yang membakar, akan tetapi metafora hidup dari ujian terbesar, ujian yang menguji hingga ke lapisan terdalam dari iman dan keberanian manusia. Bara api yang menyala bukan hanya representasi dari panasnya penderitaan, bisa juga nyala dari ujian keimanan yang menuntut pengorbanan total.
Nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api bukan karena menentang penyembahan berhala, menantang kekuasaan yang dzalim, tetapi karena menyerukan tauhid dengan keberanian yang melampaui rasa takut akan kematian. Maka, api menjadi simbol betapa sebuah ujian bisa datang bukan sebagai akibat dari dosa, melainkan justru sebagai konsekuensi dari kejujuran dan ketulusan imani.
Ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam kobaran api yang besar—api yang disiapkan oleh kekuasaan zalim dengan penuh dendam—Tuhan tidak memadamkan api itu. Namun sebaliknya, Tuhan memerintahkan api agar menjadi dingin dan menyelamatkan hamba-Nya yang sangat mulia. Kondisi ini menyampaikan pesan spiritual yang mendalam kepada kita semua, bahwa Tuhan tidak selalu menyingkirkan ujian, tetapi Dia mampu mengubah rasa sakit menjadi ketenangan bagi orang yang berserah diri. “Kami berfirman: ‘Hai api, jadilah kamu dingin dan penyelamat bagi Ibrahim.’” (QS. Al-Anbiya: 69)
Api dalam konteks ini menjadi cermin dari perjuangan hidup, bahwa manusia akan diuji dengan hal-hal yang menyakitkan, membakar jiwa dan raga, namun bagi mereka yang tetap teguh pendiriannya seperti Ibrahim, ujian itu tidak membinasakan, melainkan mengangkat derajat dan menegaskan kebenaran jalan hidup yang mereka tempuh.
Api juga dapat dilihat sebagai simbol penyucian, seperti logam yang dimurnikan dalam kobaran bara, maka Nabi Ibrahim melalui api bukan untuk dihancurkan, tetapi untuk dibersihkan dan dimuliakan. Ingatlah bahwa setiap bara kehidupan yang menimpa orang beriman, sesungguhnya adalah ruang transformasi—bukan kehancuran. Di sinilah tempat di mana iman diuji, keberanian diperkuat, dan jiwa ditinggikan.
Dalam kehidupan kita sebagai manusia biasa, ada momen-momen ketika penderitaan mencapai puncaknya—saat segalanya terasa gelap, jalan keluar seakan tertutup, dan harapan tampak memudar, maka dalam mkondisi yang paling menyakitkan itulah, kehadiran Tuhan menjadi paling nyata dan paling dekat. ”Ala inna nasrullahi qorib”. Bahwa pertolongan Tuhan itu sudah dekat (QS. Al Baqarah 214). Ayat ini menjadi pengingat abadi bahwa di titik terendah, saat semua kekuatan manusia telah habis, kuasa Tuhan menyatakan dirinya secara nyata—melampaui logika, melampaui hukum alam.
Tawakkal bukanlah sekadar menyerahkan urusan kepada Tuhan setelah berusaha, akan tetapi ia menjadi puncak dari perjalanan iman, yakni ketika seseorang tidak lagi menggantungkan harapan pada daya dan upaya, melainkan berserah sepenuhnya kepada kehendak Ilahi dengan hati yang damai, bukan putus asa.
Penderitaan bukanlah tanda ditinggalkan oleh Tuhan, akan tetapi justru sering kali penderitaan itu sebagai undangan untuk mengalami dan menyadari bahwa Tuhan lebih dekat dan lebih personal. Dalam kondisi lapang, manusia mudah melupakan kebergantungannya pada Ilahi. Tetapi ketika segala daya dan ikhtiar tak lagi mampu, jiwa terdorong untuk kembali total kepada Sang Pencipta. Di sanalah, rahmat-Nya menyentuh langsung hati yang rapuh, dan kehadiran-Nya bukan lagi teori, tetapi realitas yang dirasakan dengan seluruh jiwa.
Di tengah kobaran api—dalam catatan sejarah—bahwa Nabi Ibrahim tidak merasa takut, bahkan ia merasa paling tenang dan damai. Ini adalah saat ketergantungan total hanya kepada Tuhan (tawakkal mutlak), tak ada lagi yang bisa diandalkan selain Dia.
Tawakkal bukanlah sekadar menyerahkan urusan kepada Tuhan setelah berusaha, akan tetapi ia menjadi puncak dari perjalanan iman, yakni ketika seseorang tidak lagi menggantungkan harapan pada daya dan upaya, melainkan berserah sepenuhnya kepada kehendak Ilahi dengan hati yang damai, bukan putus asa.
Tak ada momen yang menggambarkan tawakkal mutlak (at-tawakkul al-mutlaq) lebih kuat daripada saat Nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam kobaran api. Kobaran itu bukan imajinasi—ia adalah api yang nyata, disiapkan oleh kekuasaan yang murka, menyala dengan niat membakar jasad dan melebur semangat. Namun di tengah ancaman yang demikian mengerikan dan dahsyat itu, Ibrahim tidak berguncang, bahkan menurut banyak riwayat, justru saat tubuhnya melayang menuju api, ia merasa paling damai dalam hidupnya.
Inilah momen ketika tawakkal mencapai titik tertingginya—tidak ada lagi tempat berharap, tidak ada makhluk yang bisa menolong, dan tidak ada alat duniawi yang bisa menyelamatkan, hanya di titik ini satu-satunya tempat bergantung adalah Ilahi Rabbi, dan hanya kepada-Nya jiwa berserah total.
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menyebutkan bahwa malaikat Jibril datang menawarkan pertolongan, namun Ibrahim menjawab, “Hasbiyallahu wa ni’mal wakil” — “Cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Dia sebaik-baik pelindung.” (HR. Bukhari)
Kalimat ini bukan sekadar kata, tetapi deklarasi spiritual dari hati yang telah mencicipi manisnya penyerahan diri yang total kepada Tuhan, bahkan ketika logika mengatakan tak ada lagi harapan, maka lihatlah bagaimana semesta merespons, Tuhan cukup dengan memerintahkan api itu untuk menjadi dingin, maka bukan sekadar tidak membakar, tetapi berubah menjadi alat penyelamat. Subhanallah.
Ketika tawakkal mencapai puncaknya, hati tidak lagi cemas walau situasi mengerikan, karena ia yakin bahwa apa pun hasilnya adalah keputusan terbaik dari Tuhan yang Maha Pengasih. Maka ketenangan Nabi Ibrahim bukanlah keajaiban semata, tetapi buah dari keyakinan sejati, beliau tidak meminta keajaiban, tetapi menerima dengan lapang dada apa pun yang Tuhan kehendaki. Di sinilah kita mendapatkan pembelajaran bahwa Justru di puncak ketawakkalan itulah keajaiban turun.
Dalam hidup, semua kita memiliki “api” masing-masing: Bisa dalam bentuk penderitaan, kekecewaan, kegagalan, atau tekanan hidup yang membakar hati. Tetapi kisah Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa tidak semua api harus membakar, ada api yang justru menjadi pelindung—jika ruh kita bersandar total kepada Tuhan. Inilah simbol kedamaian spiritual, keadaan di luar boleh kacau, tapi batin tetap tenang.
Dalam sejarah iman, tidak ada cinta yang lebih tulus dan total kepada Tuhan selain yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim AS. Ia rela kehilangan kenyamanan, keamanan, bahkan nyawanya sendiri demi mempertahankan keyakinan kepada Tuhan. Kisahnya adalah simbol agung tentang kekuatan cinta ilahiah yang mampu menaklukkan rasa takut, bahkan terhadap kematian.
Ketahuilah bahwa Nabi Ibrahim menghadapi berbagai bentuk ujian, tidak hanya api yang membakar, akan tetapi mulai dari penolakan keluarganya, konfrontasi dengan raja zalim, pengusiran dari tanah kelahiran, hingga akhirnya ancaman dibakar hidup-hidup. Namun, tidak satu pun dari derita itu menggoyahkan cintanya kepada Sang Pencipta. Ia tidak mengeluh, tidak menawar, dan tidak pula mundur. Ternyata cinta yang tulus kepada Tuhan telah menyatu dalam jiwanya, bahkan melampaui naluri duniawi manusia untuk bertahan hidup.
Inilah cinta yang bukan sekadar emosi, tetapi kesadaran spiritual tertinggi, karena didalam cinta seperti ini, tidak ada ruang bagi keraguan dan tidak ada tawar-menawar dengan logika dunia. Ia bukan cinta yang menunggu balasan, melainkan cinta yang siap memberi segalanya—termasuk diri sendiri—demi kebenaran. “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun dan selalu kembali kepada Allah.” (QS. Hud: 75)
Sebagai catatan pinggir, bahwa Kisah Nabi Ibrahim AS bukan sekadar narasi sejarah tentang mukjizat dan keberanian, melainkan cermin mendalam dari kekuatan cinta ilahiah dan keteguhan iman. Bara api yang menyala tidak membakar tubuh Ibrahim, karena api itu tunduk pada perintah Tuhan, namun yang lebih penting adalah bahwa bara itu menjadi simbol transformasi batin dan puncak penyerahan diri. Di sanalah iman diuji, cinta kepada Tuhan dimurnikan, dan tawakkal mencapai bentuknya yang paling murni—penyerahan total tanpa syarat.
Sebagai orang beriman, bahwa kisah yang sangat dramatis ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap ujian hidup yang menyakitkan, tersimpan potensi kemuliaan—asal kita mencintai, berserah, dan percaya kepada-Nya seperti Ibrahim.
Penulis: adalah Wakil Rektor II Univesritas Islam Negeri (UIN) Mataram
0 Komentar