Menegakkan Moral di Mana pun Berada Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd
( Hikmah Jum'at, 23 Mei 2025 )

Di tengah derasnya arus modernisasi dan digitalisasi, manusia semakin dipacu untuk mengejar kemajuan, prestasi, dan keuntungan materi. Namun, sering kali kemajuan itu tidak diiringi oleh kemajuan moral. Inilah titik krisis yang dihadapi dunia saat ini; banyak tahu, tetapi kurang sadar; banyak bisa, tapi lupa nilai-nilai.

Penting untuk kita sadari, bahwa moralitas bukan sekadar ajaran agama atau tradisi kuno—ia adalah pilar utama kehidupan manusia yang beradab, baik dalam lingkup pribadi, sosial, maupun global.

Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh tantangan saat ini, seringkali standar kebaikan dan kebenaran bergeser mengikuti opini mayoritas, kepentingan kelompok, atau bahkan tren sesaat.

Namun dalam pandangan Islam, khususnya menurut Nabi SAW, tolok ukur kebaikan dan kebenaran sejati bukanlah popularitas, kedudukan, atau kekuasaan, melainkan moralitas—yakni kualitas akhlak seseorang. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad).

Hadis ini menjadi titik terang bahwa tujuan utama diutusnya Nabi SAW bukan sekadar untuk mengajarkan ibadah ritual, melainkan untuk memperkuat fondasi moral dalam kehidupan manusia. Moralitas—seperti kejujuran, amanah, kasih sayang, kesabaran, dan keadilan—adalah manifestasi nyata dari iman yang hidup dalam diri seseorang.

Akhlak bukanlah pelengkap, melainkan substansi dari ajaran Islam, bahkan Tuhan di dalam al-quran memuji akhlak Nabi dengan firman-Nya, ”Wa innaka la’ala khuluqin adzim”. Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4). 

Ini menegaskan bahwa kebenaran tidak hanya berbentuk argumentasi intelektual, tetapi juga terletak dalam laku hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis.

Ingatlah, bahwa moralitas menjadi standar kebenaran karena ia berlaku universal dan tidak berubah oleh situasi. Kejujuran tetap benar walau dalam kesendirian, dan kebohongan tetap salah meski didukung oleh banyak orang. 

Dalam banyak kesempatan, Nabi SAW menunjukkan bahwa perbuatan benar bukanlah yang menguntungkan secara duniawi, tetapi yang sejalan dengan akhlak dan ridha Tuhan. “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Tirmidzi). 

Ini menunjukkan bahwa ukuran keimanan dan kedekatan dengan kebenaran Ilahi ditentukan oleh seberapa jauh seseorang menjaga dan menebar akhlak mulia dalam kehidupan sosialnya.

Di tengah dunia yang makin kompleks dan terpolarisasi, keberadaan moralitas sebagai standar kebaikan semakin terasa penting. Tanpa fondasi moral, sains kehilangan arah, kekuasaan menjadi tirani, dan pendidikan menjadi dangkal. 

Nabi SAW telah memberi teladan abadi; menjadi pemimpin, sahabat, dan guru yang berakhlak, dan keberhasilan beliau dalam membangun masyarakat Madinah bukan hanya karena strategi politik, tapi karena keteladanan moral yang menyentuh hati setiap orang.

Dalam pandangan Rasul saw, moralitas bukan sekadar adab, tapi takaran kebaikan dan kebenaran yang sejati. Ia adalah ruh dari setiap amal, penentu diterimanya perbuatan, dan pembeda antara orang yang benar-benar bertakwa dan yang sekadar berpura-pura. Menjaga moralitas berarti menjaga cahaya iman agar terus hidup di manapun dan dalam kondisi apapun kita berada.

Moralitas tidak mengenal sekat identitas atau afiliasi, ia berlaku di ruang publik maupun pribadi, saat kita dilihat maupun tidak. Dalam dunia yang cepat berubah dan penuh tekanan sosial, moralitas adalah prinsip tetap yang mengakar—menjadi tolok ukur bagi setiap keputusan, bukan karena apa kata dunia, tapi karena apa kata hati nurani yang tercerahkan oleh nilai

Dalam realitas dunia modern yang sarat dinamika—dari kecanggihan teknologi hingga krisis identitas kolektif—manusia dihadapkan pada banyak pilihan yang tampak baik secara lahiriah, tetapi belum tentu benar secara batiniah. Polarisasi politik, budaya, bahkan agama menjadikan kebenaran seolah relatif, tergantung siapa yang paling keras bersuara atau paling besar pengaruhnya.

Di sinilah moralitas menjadi mercusuar. Ketika banyak orang mendefinisikan kebaikan berdasarkan keuntungan, popularitas, atau standar kelompok, moralitas justru memanggil manusia untuk kembali pada nilai-nilai universal; kejujuran, keadilan, kasih sayang, tanggung jawab, dan integritas.

Moralitas tidak mengenal sekat identitas atau afiliasi, ia berlaku di ruang publik maupun pribadi, saat kita dilihat maupun tidak. Dalam dunia yang cepat berubah dan penuh tekanan sosial, moralitas adalah prinsip tetap yang mengakar—menjadi tolok ukur bagi setiap keputusan, bukan karena apa kata dunia, tapi karena apa kata hati nurani yang tercerahkan oleh nilai.

Jadi moralitas itu bukan sekadar aturan atau norma sosial yang dipatuhi karena pengawasan atau tekanan eksternal, namun idealnya ia menjadi kompas batin yang hidup di dalam diri manusia, menuntun perilaku secara konsisten—terlepas dari siapa kita, apa jabatan kita, dari kelompok mana kita berasal, atau dalam konteks apa kita berada.

Pernyataan bahwa “moralitas tidak mengenal sekat identitas atau afiliasi” menggarisbawahi bahwa nilai-nilai moral bersifat universal. Ia tidak dibatasi oleh etnis, agama, status sosial, atau pengaruh politik. Kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan integritas adalah nilai-nilai yang menjadi milik semua manusia, bukan hanya simbol dari kelompok tertentu. 

Nabi SAW telah mencontohkan hal ini dengan jelas, tatkala masyarakat Quraisy tercerai berai oleh konflik kepentingan, beliau hadir bukan hanya sebagai pembawa wahyu, tetapi sebagai figur yang konsisten menegakkan akhlak. 

Karena itu, di era kini yang tak kalah kompleks, tetaplah kita pegang bahwa moralitas bukan sekadar nilai lama yang usang, melainkan kebutuhan utama agar manusia tetap menjadi manusia.

Sebagai catatan pinggir, bahwa menjunjung tinggi moralitas di manapun berada merupakan cermin dari integritas dan kedewasaan batin, karena moralitas tidak bergantung pada tempat, waktu, atau siapa yang menyaksikan, melainkan tumbuh dari kesadaran hati nurani yang jujur. 

Dalam setiap ruang—baik publik maupun pribadi—moralitas menjadi fondasi utama untuk membangun kepercayaan, menciptakan harmoni sosial, dan menjaga martabat kemanusiaan.

Ketika seseorang mampu bersikap jujur, adil, dan bertanggung jawab meskipun tak ada yang melihat, di situlah nilai sejati dari akhlak terpancar. 

Di tengah dunia yang semakin permisif dan relativistik, konsistensi, menjunjung tinggi moralitas menjadi penanda karakter yang kuat dan menjadi benteng dari segala bentuk penyimpangan nilai dan krisis identitas.

Penulis: adalah Wakil Rektor II UIN Mataram

0 Komentar