BidikNews.net - Universitas Islam Negeri. (UIN) Mataram kembali menorehkan jejak emas dalam sejarah keilmuannya. Hal ini ditandai dengan pengukuhan 3 orang Guru Besar ke-61, 62, dan 63, sekaligus sebagai simbol bahwa kampus UIN Mataram terus tumbuh, menebar cahaya ilmu, dan meneguhkan komitmennya sebagai mercusuar peradaban.
Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks dan dinamis, perguruan tinggi keagamaan Islam memikul tanggung jawab intelektual sekaligus spiritual yang besar untuk menghadirkan solusi atas persoalan umat dan kemanusiaan.
Pengukuhan tiga guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram pada Rabu,14 Mei 2025 kali ini menjadi momen penting, bukan hanya bagi institusi, tetapi juga bagi bangsa dan dunia keilmuan.
Sebab orasi ilmiah yang disampaikan ketiga guru besar tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk simpul pemikiran yang saling mengisi dan menegaskan arah transformasi pendidikan Islam ke depan.
Tema pertama, “Sinergitas Madrasah dan Stakeholder dalam Meraih Keunggulan” menawarkan sebuah gagasan strategis bahwa keunggulan lembaga pendidikan Islam tidak lahir dari kerja satu pihak semata, melainkan buah dari orkestrasi kolektif seluruh pemangku kepentingan.
Ini adalah ajakan untuk membangun jejaring kolaboratif, membuka ruang partisipasi, dan menghadirkan madrasah sebagai pusat kemajuan yang responsif terhadap kebutuhan zaman.
Tema kedua, “Living Hadis: Teks Pemahaman dan Praktik Sosial Keagamaan Muslim” mengajak kita untuk menelaah ulang pendekatan terhadap hadis, bukan sekadar sebagai teks normatif, tetapi sebagai fenomena yang hidup dalam praktik keagamaan masyarakat.
Dengan pendekatan multidisipliner, khususnya antropologi, living hadis mengungkap dinamika pemahaman keagamaan umat Islam yang bersentuhan langsung dengan budaya dan realitas sosial.
Sementara itu, tema ketiga, “Eco Teologi Islam: Rekonstruksi Teologi Islam untuk Keberlanjutan Bumi dan Kemakmuran Manusia” memberikan sumbangsih penting dalam membumikan doktrin keagamaan untuk menjawab krisis ekologi global.
Teologi Islam, dalam pandangan ini, direkonstruksi menjadi kekuatan moral yang membela bumi dan menyatukan spiritualitas dengan kesadaran lingkungan.
Ketiga tema ini, meski berasal dari latar keilmuan yang berbeda, sejatinya menjalin benang merah yang sama: penguatan peran Islam dalam membentuk masyarakat unggul, berbudaya, dan berkelanjutan.
Pengukuhan ini bukan hanya pengakuan akademik, tetapi juga ikrar moral untuk terus menyalakan cahaya ilmu demi kemaslahatan umat dan kelestarian semesta.
Dalam orasinya Prof. Dr. H. Lukman Hakim, M.Pd, Guru Besar dalam Kepakaran Manajemen Strategik Pendidikan Islam, menjelaskan bahwa dalam era kompetitif dan dinamis saat ini, lembaga pendidikan, termasuk madrasah, dituntut tidak hanya sebagai tempat mentransfer ilmu, tetapi juga sebagai pusat pengembangan karakter, spiritualitas, dan kompetensi abad 21.
Untuk mencapai keunggulan yang berkelanjutan, madrasah tidak dapat berjalan sendiri, dibutuhkan sinergitas yang kuat dengan berbagai stakeholder, baik internal maupun eksternal—agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara optimal.
Hal ini sering disampaikan oleh Bapak Menteri Agama RI bahwa sinergi melahirkan energi.
Sinergitas merupakan kerja sama yang harmonis antara berbagai pihak dengan tujuan mencapai hasil yang lebih besar dibanding dikerjakan sendiri-sendiri.
Dalam konteks madrasah, stakeholder mencakup berbagai elemen yang memiliki keterkaitan dan kepentingan terhadap keberhasilan lembaga.
Keunggulan madrasah bukan hanya ditentukan oleh kualitas pembelajaran di ruang kelas, tetapi juga ditopang oleh kolaborasi lintas sektor. Sinergitas memungkinkan:
(1) Penguatan Visi dan Misi: Visi madrasah akan lebih mudah terwujud bila semua pihak memiliki pemahaman dan komitmen yang sama;
(2) Partisipasi Aktif Masyarakat: Dukungan masyarakat dapat mempercepat pencapaian target, baik dalam bentuk pendanaan, pemikiran, maupun jejaring kerja;
(3) Inovasi dan Pengembangan Program: Kolaborasi dengan pihak luar membuka ruang inovasi, misalnya program kewirausahaan siswa, pelatihan teknologi digital, atau pelestarian nilai-nilai keislaman yang kontekstual;
(4) Peningkatan Reputasi dan Kepercayaan Publik: Madrasah yang mampu melibatkan secara efektif cenderung lebih dipercaya masyarakat dan memiliki daya tarik lebih tinggi.
Jadi keunggulan madrasah bukanlah hasil kerja satu pihak, melainkan buah dari orkestrasi berbagai unsur yang saling menguatkan. Dalam sinergitas, tidak ada pihak yang dominan, semua berperan sesuai kapasitasnya.
Madrasah yang unggul adalah madrasah yang mampu membangun jejaring kolaboratif, berpikir terbuka, dan mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan kebutuhan zaman.
Sinergitas bukan hanya strategi, tetapi juga ruh dari keberhasilan pendidikan Islam yang berdaya saing tinggi dan berjiwa rahmatan lil ‘alamin.
Maka, keberhasilan madrasah dalam meraih keunggulan harus dipandang sebagai buah dari kerja kolektif. Tidak ada satu tangan yang bekerja sendiri, tetapi semua tangan bergandengan.
Dengan sinergi yang kuat, semangat kebersamaan, dan landasan nilai-nilai Islam yang kokoh, madrasah bukan hanya mampu bersaing, tetapi juga menjadi pelita di tengah masyarakat—menjadi solusi, bukan sekadar institusi.
Sementara Prof. Dr. Nikmatullah, M.Ag Guru Besar dalam Kepakaran Antropologi Hadis, dalam orasinya menjelaskan bahwa hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an tidak hanya mengandung dimensi normatif, tetapi juga realitas historis dan sosial-budaya yang kompleks.
Oleh karena itu, pengkajian hadis tidak cukup dilakukan dengan pendekatan tunggal yang tekstual-formal semata, tetapi memerlukan pendekatan multidisipliner yang mampu menguak makna dan fungsi hadis secara kontekstual dalam kehidupan umat. Salah satu pendekatan yang relevan dalam kajian multidisipliner hadis adalah antropologi.
Antropologi sebagai ilmu yang menelaah manusia dan kebudayaannya menawarkan cara pandang yang luas terhadap bagaimana hadis dipraktikkan, ditafsirkan, dan direspon oleh masyarakat dalam kerangka budaya tertentu.
Ini menjadi penting karena sebuah doktrin agama tidak pernah hadir dalam ruang hampa, melainkan selalu melekat dalam konteks sosial dan budaya tempat ia dihayati.
Misalnya, hadis tentang "bersiwak" sebelum salat, dalam praktik masyarakat Arab abad ke-7, sangat kontekstual karena berhubungan dengan kebersihan mulut yang tidak memiliki alternatif modern.
Namun, ketika hadis tersebut dibawa ke masyarakat muslim kontemporer yang memiliki teknologi kebersihan mulut seperti sikat gigi dan obat kumur, maka pemaknaannya dapat bergeser dari simbol alat ke prinsip kebersihan.
Di sinilah pendekatan antropologi membantu membedakan antara bentuk praktik dan esensi nilai yang ingin ditegakkan oleh hadis tersebut.
Lebih jauh, pendekatan antropologi juga membuka ruang pemahaman terhadap keragaman respons masyarakat terhadap hadis, termasuk bagaimana sebuah komunitas mengadopsi, mengadaptasi, bahkan menegosiasikan ajaran Nabi dengan nilai-nilai lokal yang mereka anut.
Hadis tidak hanya ditransmisikan sebagai teks, tetapi juga diinternalisasi dan dikontekstualisasikan dalam berbagai bentuk praktik sosial—dari ritual keagamaan, adat istiadat, hingga relasi sosial.
Oleh karena itu, pendekatan multidisipliner termasuk antropologi memperkaya studi hadis, tidak untuk merelatifkan kebenarannya, tetapi untuk memperdalam pemahamannya. Ini sejalan dengan semangat maqāṣid al-syarī‘ah yang menekankan bahwa hukum Islam, termasuk ajaran yang bersumber dari hadis, bertujuan mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan nyata manusia.
Maka, semakin luas pendekatan yang digunakan, semakin dalam pula pemahaman terhadap misi dan makna dari ajaran Nabi dalam konteks kekinian.
Dengan demikian, pengkajian hadis yang mengintegrasikan ilmu antropologi adalah langkah strategis dalam menjembatani ajaran normatif Islam dengan realitas sosiokultural umat. Ini tidak hanya memperkaya diskursus akademik, tetapi juga menjadikan hadis lebih hidup dan bermakna di tengah masyarakat yang majemuk dan dinamis.
Begitu pula Prof. Dr. H. Abdul Quddus, MA, Guru Besar dalam Kepakaran Teologi Islam dalam orasinya menjelaskan bahwa di tengah gelombang perubahan zaman yang ditandai dengan krisis kemanusiaan dan kerusakan lingkungan, Kementerian Agama RI hadir dengan langkah progresif melalui program strategis pembumian doktrin eko-teologi di tengah masyarakat.
Program ini tidak sekadar bersifat seremonial atau normatif, melainkan merupakan panggilan etis dan spiritual untuk mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dengan kesadaran ekologis yang mendalam.
Dalam konteks inilah, eko teologi Islam diharapkan tidak hanya menjadi wacana teoretis, tetapi berkembang menjadi etika lingkungan yang membimbing kesadaran dan perilaku umat.
Eko teologi memandang hubungan manusia dengan alam bukan sekadar hubungan eksploitatif, melainkan relasi spiritual yang sakral. Alam bukan milik manusia, tetapi milik Allah yang dititipkan untuk dijaga dan dimakmurkan. Oleh karena itu, perusakan alam sejatinya adalah bentuk pengingkaran terhadap tugas kekhalifahan.
Sebagai etika lingkungan, eko teologi menanamkan tiga kesadaran penting. Pertama, kesadaran spiritual, bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah dan bentuk syukur atas nikmat penciptaan.
Kedua, kesadaran sosial, bahwa kerusakan lingkungan selalu berdampak paling besar pada kelompok rentan dan marjinal. Ketiga, kesadaran moral, bahwa umat Islam tidak boleh bersikap netral atau diam dalam menghadapi kejahatan ekologis.
Eko-teologi adalah pendekatan teologis yang menempatkan alam sebagai bagian integral dari ciptaan Tuhan yang harus dijaga, dihormati, dan dipelihara.
Ia mengajak manusia untuk menafsirkan kembali hubungan spiritualnya dengan bumi, bukan sebagai penguasa absolut yang mengeksploitasi, tetapi sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan semesta.
Doktrin ini tidak hadir dalam ruang kosong, melainkan menjadi respon aktif atas krisis ganda yang tengah melanda umat manusia—yaitu krisis kemanusiaan dan krisis ekologis.
Bapak Menteri Agama dan Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Agama secara konsisten mengusung dua tema besar tersebut sebagai fokus transformasi sosial berbasis nilai-nilai agama.
Krisis kemanusiaan, seperti konflik sosial, kemiskinan, ketimpangan akses pendidikan, dan degradasi moral, menjadi luka kolektif yang harus disembuhkan melalui pendekatan nilai spiritual.
Sementara krisis lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran, perubahan iklim, dan bencana ekologis, menuntut tanggung jawab moral yang tak kalah besar dari umat beragama.
Melalui pembumian eko-teologi, Kementerian Agama mendorong para tokoh agama, pendidik, penyuluh, dan masyarakat luas untuk menanamkan kesadaran ekologis sebagai bagian dari ibadah dan etika keagamaan.
Ceramah, khutbah, kurikulum madrasah, hingga kegiatan sosial keagamaan diarahkan agar menyuarakan pesan-pesan ekologis: mencintai lingkungan, menjaga air, menghormati makhluk hidup, serta mencegah kerusakan bumi sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual.
Dengan pendekatan ini, agama tidak hanya menjadi ruang kontemplatif, tetapi juga menjadi kekuatan transformatif yang mampu membentuk perilaku ramah lingkungan dan memperkuat solidaritas sosial.
Di sinilah letak kekuatan eko-teologi—ia menyatukan kepedulian terhadap manusia dan bumi dalam satu misi agung: menjaga amanah Tuhan atas kehidupan.
Program ini menjadi langkah nyata bahwa Kementerian Agama bukan hanya pengelola urusan keagamaan, tetapi juga agen perubahan sosial yang menanamkan nilai-nilai keberlanjutan dan keadilan. Ketika agama turun ke bumi dan menyatu dengan problem nyata umat, maka ia bukan hanya menjadi sumber harapan, tetapi juga solusi yang penuh kasih bagi dunia yang tengah terluka.
Acara pengukuhan Guru Besar diakhiri dengan sambutan Rektor UIN Mataram, Prof. Dr. H. Masnun Tahir, M.Ag. Rektor dalam sambutannya selain mengucapkan selamat kepada 3 profesor dan keluarga, beliau menekankan kembali arahan dari Pak Sekjen Kemenag RI tentang menjadi kontribusi kampus untuk transformasi sosial.
Arahan tegas dan penuh makna dari Bapak Sekjen Kementerian Agama RI kembali mengingatkan kita bahwa kampus, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, tidak boleh terkungkung dalam menara gading akademik.
Kampus harus menjadi katalisator transformasi sosial—kehadirannya terasa, kontribusinya dirindukan, dan jejaknya berdampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks ini, kontribusi kampus tidak cukup hanya terwujud dalam jurnal ilmiah atau seminar ilmiah, tetapi harus diterjemahkan dalam perubahan sosial yang menyentuh aspek ekonomi, budaya, dan laku sosial masyarakat.
Kampus tidak boleh terasing dari realitas sekitar, tetapi justru harus menjadi mata air solusi—mengalirkan pemikiran, inovasi, dan empati untuk mengangkat harkat hidup masyarakat.
Arahan Pak Sekjen itu sejalan dengan visi besar Perguruian Tinggi, bahwa civitas akademika, terutama para dosen bil khusus profesor, tidak hanya berperan sebagai pengajar dan peneliti, tetapi juga sebagai problem solver: penyelesai persoalan umat, pencari jalan tengah di tengah konflik, dan penunjuk arah dalam kegamangan zaman.
Inilah esensi kehadiran akademisi yang rahmatan lil ‘alamin—hadirnya membawa manfaat, bukan hanya untuk dirinya, tetapi bagi seluruh alam.
Seorang profesor, sejatinya, adalah penjaga nurani ilmu dan masyarakat. Ia bukan sekadar orang pintar, tetapi orang yang mampu menjadikan ilmunya sebagai jembatan perubahan—menjawab persoalan kemiskinan, ketimpangan pendidikan, krisis lingkungan, hingga disorientasi nilai di masyarakat.
Maka ketika kampus mampu menciptakan sinergi antara ilmu, nilai, dan aksi sosial, ia tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga mensejahterakan.
Transformasi sosial yang diharapkan bukan hanya bersifat struktural, melainkan juga kultural dan spiritual. Kampus harus berperan dalam membangun etos kerja masyarakat, memperkuat budaya lokal yang luhur, dan menanamkan nilai-nilai keagamaan yang mencerahkan, membebaskan, dan memanusiakan.
Dengan demikian, arahan Bapak Menteri dan Bapak Sekjen Kemenag bukan hanya pesan kelembagaan, melainkan seruan moral agar kampus kembali ke akar maknanya: menjadi pelita zaman.
Kampus harus berani menengok ke luar pagar, menyapa dunia nyata, dan menjadikan kehadirannya sebagai rahmat yang menebar manfaat dan keberkahan bagi semua makhluk.
Demikian disampaikan : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd - Wakil Rektor 2 UIN Mataram).
Pewarta: Tim
0 Komentar