Ketika Iman Diuji: Kisah Abadi dari Lembah tak Bernama Oleh: Prof, DR. H. Maimun Zubair, M.Pd


Di sebuah lembah tandus tak bernama, seorang ayah yang telah sepuh bernama Ibrahim diperintahkan untuk melakukan sesuatu di luar nalar yang sangat mengejutkan, yakni mengurbankan anak yang telah lama ia rindukan dan doakan kehadirannya—Ismail. Perintah itu datang bukan dari mimpi biasa, melainkan dari wahyu Ilahi, sebuah ujian cinta dan keimanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di tengah padang pasir yang gersang, tanpa saksi dan tanpa panggung, berlangsung drama paling agung dalam sejarah penghambaan manusia kepada Tuhan. Ibrahim tidak mempertanyakan, mengapa…? Begitu pula Ismail tidak juga melawan. Inilah dua insan yang telah mencapai maqam ridha dan taslim (kepasrahan total) kepada  Tuhannya. Inilah cinta yang meninggikan nilai manusia, cinta yang tidak egoistik, tapi berporos pada Tuhan.

Ketika Ibrahim membaringkan Ismail dan mengangkat pisau tajam di tangannya, langit dan bumi seakan menahan nafas. Akan tapi Allah ternyata tidak menginginkan darah, bukan pula daging, namun Tuhan hanya menginginkan bukti keimanan dan ketundukan, maka digantilah Ismail dengan seekor kambing dari surga.

Peristiwa tersebut bukan berakhir di sana, akan tetapi jejak langkah keduanya diabadikan dalam ritual suci haji, di mana setiap jamaah haji menapak tilasi pengorbanan saat mereka menyembelih hewan kurban. Setiap umat Islam di seluruh dunia memperingatinya dalam hari raya Idul Adha, menyebarkan semangat berbagi, rela berkorban, dan ketundukan kepada Tuhan.

Idul Adha bukan sekadar hari penyembelihan, bukan pula seremoni tahunan, ia merupakan pengingat bahwa keimanan sejati ditunjukkan dengan tindakan nyata, terkadang melalui pengorbanan yang menyakitkan, tetapi mendekatkan kepada Allah.

Lembah tandus yang menjadi saksi dari drama kemanusiaan itu kini bernama Makkah, dan tempat pengorbanan itu menjadi bagian dari syi’ar Islam yang hidup dan menghidupkan jiwa. Dari tanah tandus tersebut lahirlah pelajaran abadi, bahwa iman itu tidak hanya diucapkan, tapi juga diuji, dan cinta sejati kepada Tuhan selalu mengalahkan cinta kepada selain-Nya.

Pernahkah kita merenungi, mengapa Tuhan memilih kisah Nabi Ibrahim dan Ismail sebagai kisah abadi yang pantas untuk dikenang setiap tahun? Mengapa peristiwa yang terjadi di sebuah lembah tandus ribuan tahun lalu itu diabadikan dalam ritual suci haji dan peringatan Idul Adha?


Paling tidak, ada dua alasan penting dapat kita kemukakan; Pertama, Di dalam kisah itu tersimpan inti dari makna penghambaan sejati, seperti iman, taat, dan pengorbanan tanpa syarat. Ibrahim menunjukkan bahwa cinta kepada Tuhan jauh lebih tinggi dari cinta kepada anak yang sangat ia sayangi. Dan Ismail mengajarkan bahwa ketaatan kepada Tuhan dan ayah bukanlah beban, tapi kehormatan.

Inilah puncak tawakkal, puncak keikhlasan, dan puncak pengorbanan. Di tangan mereka cinta kepada Allah bukan teori, tapi kenyataan yang menggetarkan langit. Dan lihatlah bagaimana Tuhan membalasnya—bukan dengan membiarkan darah mengalir, tetapi dengan mengangkat keduanya sebagai simbol cinta ilahiah yang abadi.

Tuhan mengabadikan kisah ini bukan semata karena keagungannya, tetapi karena kisah itu adalah cermin bagi hati setiap hamba, bahwa lewat haji dan Idul Adha, Tuhan ingin agar semua kita belajar untuk berkorban, meninggalkan ego, dan mendahulukan ridha-Nya di atas segalanya.

Kedua, Cinta sejati kepada Tuhan tidak cukup dibuktikan dengan kata-kata, namun harus melalui ujian, pengorbanan, dan kerelaan melepaskan apa yang paling kita cintai. Nabi Ibrahim diuji bukan sekadar untuk menyembelih hewan, tapi untuk menyembelih keterikatan hatinya kepada dunia, ia diuji untuk melepaskan Ismail, anak yang telah lama dinanti dan dicintai. Tapi ternyata cinta Ibrahim kepada Tuhan mengalahkan cinta kepada darah dagingnya sendiri.

Ismail pun tak kalah agung, anak muda yang lembut hatinya, taat kepada ayahnya, dan lebih dari itu—taat kepada perintah Tuhannya. Saat ayahnya berkata: ”Fa lammâ balagha ma‘ahus-sa‘ya qâla yâ bunayya innî arâ fil-manâmi annî adzbaḫuka fandhur mâdzâ tarâ”. Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?. Ismail menjawab dengan tenang dan ikhlas: ”Qâla yâ abatif‘al mâ tu’maru satajidunî in syâ’allâhu minash-shâbirîn”. Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. Ash-Shaffat: 102)

Inilah puncak tawakal, puncak keikhlasan, dan puncak pengorbanan. Di tangan mereka cinta kepada Allah bukan teori, tapi kenyataan yang menggetarkan langit. Dan lihatlah bagaimana Tuhan membalasnya—bukan dengan membiarkan darah mengalir, tetapi dengan mengangkat keduanya sebagai simbol cinta ilahiah yang abadi.

Setiap dari kita punya “Ismail” sendiri—sesuatu yang kita cintai, sesuatu yang kita genggam erat, akan tetapi kadang Tuhan ingin tahu, apakah kita siap melepaskan itu jika cinta kepada-Nya dituntut lebih besar? Dan syariat Idul Adha mengajarkan bahwa tidak ada cinta yang lebih tinggi dari cinta kepada Tuhan. Tidak ada ketenangan sejati kecuali dalam penyerahan total kepada-Nya. Dan tidak ada kehormatan yang lebih besar daripada menjadi hamba yang diuji lalu lulus.

Prof, DR. H. Maimun Zubair, M.Pd, Wakil Rektor II UIN Mataram

Maka marilah kita sambut hari raya Idul Adha dengan semangat ketundukan, ketulusan, dan keteguhan. Kita korbankan kemalasan kita dalam beribadah, kesombongan kita dalam bermuamalah, dan kelalaian kita terhadap sesama, karena pengorbanan yang sejati bukan terletak pada darah dan daging, tapi pada keikhlasan hati. ”Lay yanâlallâha luḫûmuhâ wa lâ dimâ’uhâ wa lâkiy yanâluhut-taqwâ mingkum”. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya. (QS. Al-Hajj: 37)

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail di atas bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah cermin untuk hari ini, pelajaran untuk setiap hati, dan panggilan abadi bagi siapa pun yang ingin menjadi hamba sejati. Dari lembah yang tandus, Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa cinta sejati adalah yang berani berkorban, dan iman sejati adalah yang siap diuji.

Pada momen hari raya yang agung—Idul Adha, sepantasnya kita manfaatkan untuk membangun kembali jiwa kita dengan ketakwaan yang tulus dan dengan pengorbanan yang nyata, bukan hanya hewan yang kita sembelih, tapi ego yang kita jinakkan, dosa yang kita tinggalkan, dan ketaatan yang kita tegakkan.

Sebagai catatan pinggir, bahwa kisah nabi Ibrahim dan Ismail yang diabadikan dalam peristiwa hajji dan Idul Adha merupakan simbol agung tentang penghambaan sejati, cinta tulus kepada Tuhan, dan pengorbanan tanpa syarat. 

Dari peristiwa di lembah tandus yang kini dikenal sebagai Makkah, Tuhan sesungguhnya mengajarkan bahwa keimanan sejati tidak cukup hanya dengan ucapan, tetapi harus dibuktikan melalui ujian dan kesediaan melepaskan apa yang paling kita cintai demi ridha-Nya. Ibrahim dan Ismail menjadi teladan tentang ketundukan, keikhlasan, dan keberanian menempatkan cinta kepada Tuhan di atas segalanya.

Penulis: adalah Wakil Rektor II UIN Mataram


0 Komentar