Ungkap Skandal Dugaan Korupsi Dana Pokir Dewan NTB, "Nyali" Jaksa Diuji

Foto: Kejagung, Kajati dan Wakajati NTB serta Ketua DPRD NTB, Hj. Baiq Isvie

BidikNews.net
- Beberapa waktu lalu saya terlibat diskusi yang agak berat-ringan dengan beberapa kawan wartawan Politisi dan Praktisi Hukum. Bahasan kami tentang banyak hal, namun yang paling menarik adalah bahasan soal Dana Pokir Anggota Dewan yang terhormat di Provinsi NTB.

Kenapa agak menarik? Sebab kasus Dana Pokir Dewan ini juga terjadi disejumlah daerah lain di luar NTB. Bahkan kasus dugaan korupsi dana pokir di DPRD NTB ini disebut sebagai ajang “Uji Nyali” Kejaksaan Tinggi NTB untuk mngungkap dugaan korupsi berjamaah di Gedung Dewan jalan Udayana Mataram yang dikhawatirkan berujung tragis hingga ke kamar penjara.

Kita ketahui, Dana Pokok Pikiran (Pokir) adalah instrumen anggaran yang diberikan kepada Anggota Dewan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya. Tujuan utamanya adalah memastikan pembangunan tepat sasaran sesuai kebutuhan konstituennya.

Tragedi Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan terhadap para koruptor di lembaga tehormat, kini menghantui para wakil rakyat di NTB atas skandal dugaan korupsi dalam pengelolaan dana Pokok Pikiran (Pokir) Dewan NTB yang kian menghangat.

Operasi Tangkpap Tangan (OTT) oleh KPK dan Kejaksaan yang terjadi diberbagai daerah itu harusnya, menjadi pengingat bahwa dana pokir yang seharusnya digunakan untuk menyerap aspirasi masyarakat justru kerap disalahgunakan oleh para anggota dewan yang melakukan intervensi dalam pelaksanaannya.

Dalam diskusi ringan itu, menyepakati bahwa secara hukum, mekanisme Pokir telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta berbagai regulasi lainnya, termasuk Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 dan Permendagri Nomor 70 Tahun 2019.

Tetapi dalam praktiknya, ditemukan banyak terjadi penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Bahkan, pusaran korupsi ini dapat melibatkan berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah, pengusaha dan masyarakat.

Beberapa modus yang sering terjadi dalam pelaksanaan, termasuk intervensi terhadap proyek Pokir, di mana anggota dewan ikut menentukan pelaksana proyek. Ikut menentukan rekanan dan meminta fee dari proyek yang diusulkan, hingga memasukkan kegiatan pada Operasi Perangkat Daerah (OPD) tertentu sebagai pokir.

Seharusnya, fungsi anggota dewan hanya sebatas mengawasi pelaksanaan program, bukan malah ikut campur dalam teknis pelaksanaannya.

Teman diskusi yang juga Praktisi Hukum menyebut, kasus OTT KPK serta Kejaksaan terhadap sejumlah anggota Dewan di sejumlah daerah di Indonesia sebenarnya menjadi alarm serius bahwa menentukan pelaksana proyek, ikut menentukan rekanan dan meminta fee dari proyek anggaran Pokir yang diusulkan adalah tindakan ilegal dan melawan hukum. 

Dalam hal ini harusnya pejabat pemerintah bersikap tegas dan tidak berkolaborasi dalam praktik melawan hukum . Ini berarti, sebelum anggaran pokir dijalankan, sebaiknya Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) melakukan review ketat.  Jika ini diabaikan, bukan tidak mungkin anggota DPRD NTB bahkan pejabat pemerintah akan menjadi target KPK dan Kejaksaan.

Beberapa anggota DPRD di beberapa daerah yang ditangkap KPK dan jaksa terkait kasus Korupsi 
Keseriusan dalam pengawasan, juga harus ditunjukkan dengan menghapus praktik koordinasi dana Pokir yang dilakukan oleh oknum tertentu dalam mengatur proyek dan rekanan. Sebab, Jika masih berlaku koordinator dana pokir yang ditunjuk mewakili dewan untuk mengatur rekanan, maka sampai kapanpun praktik korupsi ini tidak akan hilang.

Harus diingat bahwa, pusaran korupsi dalam dana pokir terjadi lantaran adanya kekuasaan yang tidak terkendali, kurangnya transparansi, serta budaya korupsi yang sudah mengakar. 

Dalam banyak kasus, anggota dewan tidak sekadar mengusulkan program, tetapi juga mengendalikan pelaksanaannya, termasuk ikut menentukan konsultan perencanaan, pengawas, sampai mengarahkan rekanan yang akan melaksanakan proyek.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi, Kepala Satgas Korsup Wilayah V, Dian Patria, dalam keterangan tertulis, yang diterima sejumlah media pada November 2024.menemukan indikasi anomali dalam penyaluran dana pokok pikiran (pokir) DPRD Nusa Tenggara Barat. 

KPK menyebutkan, bahwa, dalam ketentuan, dana pokir itu seharusnya digunakan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, KPK menemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon.” Kata Dian Patria. 

Sedangkan ketentuan tentang pokir diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017. Aspirasi masyarakat yang terjaring lewat pokir kemudian diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). 

Dalam ketarangannya Dian Patria mengungkapkan, Penyimpangan dana pokir berpotensi membuka celah korupsi. Hibah uang kepada yayasan tidak jelas legalitasnya, apalagi yayasan itu milik anggota DPRD sendiri, serta bantuan sosial sering disalurkan tanpa prosedur yang benar," kata Dian menyebutkan contoh bentuk penyalahgunaan dana pokir di Dewan NTB.

KPK juga menurut Dian Patria mencatatat, bentuk penyimpangan lain termasuk pengajuan tak sesuai prosedur, perubahan pokir setelah pembahasan anggaran, hingga tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai fakta atas belanja hibah dan bantuan. 

Praktik-praktik tersebut kata Dian Patria telah menjadi temuan berulang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di NTB. "Ini kan ada indikasi fraud dan dugaan jual beli pokir."    

Kasipenkum Kejati NTB, Efrien Saputera  dan Ketua DPRD NTB Hj. Baiq Isvie

Seiring berjalannya waktu, Skandal dugaan Korupsi di DPRD NTB terus berhembus dengan menyebut nama Ketua DPRD Provinsi NTB Baiq Isvie Rupaeda terseret dalam skandal dugaan korupsi dana pokok pikiran (pokir) tahun anggaran 2024 yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah. 

Pada bagian lain, Ketua DPRD NTB Hj. Baiq Isvie juga dimintai keterangan oleh Kejaksaan Tinggi NTB dalam kasus dugaan Korupsi dana Pokir anggara tahun 2025. 

Dengan mencuatnya nama Baiq Isvie dalam skandal dugaan korupsi dana Pokir DPRD NTB tahun anngara 2025 ini, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati NTB, Efrien Saputera membenarkan, bahwa Kejati NTB telah memanggil dan meminta keterangan Ketua DRPD NTB, Baiq Isvie Rupaeda pada rabu, 13 Agustus 2025.

“Benar, pada Rabu, 13 Agustus 2025 yang bersangkutan datang untuk memenuhi panggilan dari Kejati NTB dan telah dimintai ketarangan seputar pengelolaan anggaran pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD NTB 2025.” kata Efrien kepada wartawan.

Sebelumnya, Kejati NTB juga telah memeriksa dan memanggil sejumlah anggota DPRD lainnya seperti : Ruhaiman, Marga Harun, Lalu Wirajaya, H. Yek Agil, Indra Jaya Usman, Abdul Rahim, serta Hamdan Kasim, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Nursalim.

Mencuatnya dugaan skandal korupsi dana Pokir DPRD NTB ini bermula dari dugaan pemotongan program Pokir Anggota DPRD NTB Periode 2019-2024 yang sudah menjadi Daftar Pelaksanaan Anggaran di APBD NTB tahun 2025. 

Disebutkan, Program Pokir dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran di APBD NTB tahun 2025 diketahui masih menjadi hak anggota DPRD NTB sebelumnya. Karena berasal dari penjaringan aspirasi yang kemudian disahkan dalam APBD ketika masih menjabat.

Dugaannya, pemotongan dana Pokir tersebut terdapat sejumlah oknum Wakil rakyat baru di DPRD NTB yang disinyalir mengkoordinir pembagian uang kepada rekan-rekannya sesama anggota dewan baru.

Uang yang dibagikan tersebut diduga merupakan “fee” dari anggaran program yang akan didapatkan para anggota dewan yang disinyalemen bersumber dari pemotongan Pokir 39 anggota DPRD NTB periode sebelumnya yang tidak terpilih kembali. 

Pewarta: TIM


0 Komentar