Kecerdasan Semesta sebagai Basis Ekoteologi, Refleksi Spiritual Keterhubungan Manusia dengan Alam Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

Hikmah Jum`at, 24 Oktober 2025
Selain delapan kecerdasan yang diperkenalkan oleh Howard Gardner dan kemudian dipopulerkan serta dikembangkan dalam konteks pendidikan humanistik oleh tokoh-tokoh pendidikan, yaitu kecerdasan linguistik, logis-matematis, visual-spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik. Sesungguhnya ada satu kecerdasan lain yang sering luput dibahas namun memiliki kedalaman spiritual dan eksistensial yang luar biasa, yaitu kecerdasan semesta (cosmic intelligence).

KECERDASAN ini tidak semata-mata berbicara tentang kemampuan berpikir logis atau kemampuan memahami fenomena alam, melainkan tentang kesadaran akan keterhubungan yang mendalam antara manusia, alam, dan Sang Pencipta”. 

Jika kecerdasan lain berfokus pada kemampuan spesifik manusia dalam memahami dunia, maka kecerdasan semesta adalah kemampuan untuk menyadari bahwa seluruh realitas merupakan satu jaringan kehidupan yang tertata oleh kehendak dan kebijaksanaan Tuhan.

Dalam konteks ini, kecerdasan semesta dapat dianggap sebagai puncak dari seluruh kecerdasan manusia, karena ia menuntun seseorang untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, emosional, dan sosial, tetapi juga cerdas secara spiritual dan kosmik — yakni mampu membaca makna di balik keteraturan semesta, mampu memahami harmoni ciptaan, dan merasakan kehadiran Ilahi dalam setiap denyut kehidupan.

Kecerdasan semesta membentuk manusia—tidak hanya berilmu; hanya pandai menguasai pengetahuan tentang alam, akan tetapi juga berhikmah; bijak menjaga keseimbangannya. Ia mengajarkan bahwa belajar bukan hanya proses kognitif, melainkan perjalanan batin untuk memahami posisi diri di tengah keteraturan semesta. Dengan kesadaran ini, manusia tidak lagi menjadi pusat alam (antroposentris), tetapi bagian dari tatanan ilahiah yang hidup dan saling menautkan.

Dalam konteks inilah, gagasan ekoteologi Bapak Menteri Agama RI sekaligus Bapak Ekoteologi, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A. menjadi sangat relevan. Beliau menegaskan bahwa ekoteologi adalah upaya mengembalikan spiritualitas manusia dalam berhubungan dengan alam sebagai manifestasi dari tauhid. Alam, dalam pandangan beliau, bukanlah objek eksploitasi, tetapi mitra spiritual yang sama-sama bertasbih memuji Tuhan. 

Dalam berbagai kesempatan, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar mengingatkan bahwa setiap bentuk kerusakan lingkungan sejatinya adalah krisis spiritualitas manusia — tanda bahwa manusia telah memutus hubungan tauhidnya dengan semesta ciptaan Allah. 

Pandangan ini menggemakan pesan Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan bukan untuk mendominasi, melainkan untuk menjaga amanah kosmik sebagai khalifah yang penuh kasih terhadap seluruh makhluk.

Ungkapan “kecerdasan semesta merupakan kesadaran akan keteraturan, kehendak, dan hikmah Tuhan yang hidup dalam setiap denyut semesta” memuat kedalaman makna yang melampaui batas nalar ilmiah biasa, bukan sekadar konsep yang menempatkan alam semesta sebagai sistem mekanistik yang bekerja secara otomatis menurut hukum-hukum fisika dan matematika, namun sebagai manifestasi dari kesadaran ilahiah—Yang menata setiap unsur ciptaan dengan penuh tujuan dan keseimbangan. 

Dalam pandangan ini, semesta bukanlah ruang kosong yang dingin dan acak, tetapi sebuah entitas hidup yang berdenyut dalam irama keteraturan dan kehendak Tuhan. Setiap partikel, setiap gerak angin, rotasi planet, hingga tumbuhnya sehelai daun, mengandung dimensi kecerdasan kosmik yang bersumber dari pengetahuan dan kehendak Tuhan. 

Pemandangan langit dan bumi yang sangat menakjubkan
Dalam Al-Qur’an, fenomena ini dijelaskan melalui ayat-ayat yang menggambarkan keteraturan langit dan bumi sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, ”Mâ khalaqnas-samâwâti wal-ardla wa mâ bainahumâ illâ bil-ḫaqqi wa ajalim musamman, walladzîna kafarû ‘ammâ undzirû mu‘ridlûn.

“ Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. (QS. Al-Ahqaf: 3)

Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam raya memiliki makna dan arah, bahwa di balik hukum alam terdapat hikmah Ilahi yang mengatur keseimbangan eksistensi. 

Oleh karena itu, kecerdasan semesta tidak bisa direduksi hanya pada perhitungan logis atau analisis ilmiah, sebab di dalamnya terkandung dimensi transenden, yaitu kehadiran dan kebijaksanaan Tuhan yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh akal manusia.

Alam semesta memantulkan kebesaran dan kebijaksanaan Tuhan; setiap unsur ciptaan menyimpan jejak kesadaran ilahiah. Dalam pandangan Ibn Arabi, seluruh makhluk adalah “cermin-cermin” yang memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Maka memahami kecerdasan semesta berarti menyelami kebijaksanaan yang hidup di dalam ciptaan, bukan sekadar mempelajari mekanismenya.

Lebih jauh, kecerdasan semesta juga memiliki dimensi etis dan spiritual bagi manusia—Ketika seseorang menyadari bahwa alam ini berjalan dalam keteraturan yang begitu indah dan seimbang, ia akan menumbuhkan rasa takzim dan tanggung jawab ekologis. 

Kesadaran kosmik ini menuntun manusia untuk hidup selaras dengan hukum-hukum alam sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Dalam kerangka ini, ekoteologi dan ekofenomenologi menemukan maknanya; bahwa merusak lingkungan bukan hanya tindakan ekologis yang salah, tetapi juga bentuk ketidaktaatan terhadap kecerdasan Ilahiah yang menjaga harmoni semesta.

Oleh karena itu, memahami kecerdasan semesta bukanlah sekadar berpikir tentang planet, bintang, dan energi dalam tataran rasional, melainkan melatih kepekaan batin untuk menangkap irama kebijaksanaan Tuhan dalam segala hal. 

Gunung dengan warna warni yang indah
Kesadaran ini menghadirkan pengalaman religius yang mendalam—bahwa setiap detik kehidupan, setiap perubahan musim, setiap denyut jantung manusia, adalah bagian dari simfoni Ilahi yang agung. 

Dengan demikian, kecerdasan semesta bukan sekadar teori tentang alam, melainkan jalan spiritual menuju pemahaman tentang Tuhan melalui ciptaan-Nya — sebuah kesadaran yang menautkan akal, hati, dan semesta dalam satu kesatuan makna yang suci dan abadi.

Sebagai catatan pinggir, bahwa kecerdasan semesta menuntut manusia untuk melampaui cara berpikir fragmentaris yang hanya menilai realitas dari sudut rasional atau empiris semata. Ia menantang kita untuk berpikir secara kritis tentang posisi manusia di tengah keteraturan semesta — apakah kita sekadar pengamat, atau justru bagian dari sistem kehidupan yang harus dijaga keseimbangannya. 

Dengan kesadaran ini, maka berpikir kritis tidak berhenti pada analisis dan argumentasi logis, tetapi bertransformasi menjadi refleksi etis dan spiritual—mempertanyakan makna keberadaan, tanggung jawab ekologis, serta hubungan kita dengan sumber kebijaksanaan tertinggi, yaitu Tuhan.

Karena itu, mari kita asah kecerdasan semesta dengan cara berpikir kritis yang utuh — bukan hanya mempertanyakan bagaimana alam bekerja, tetapi juga mengapa ia diciptakan demikian.  

Belajarlah membaca ayat-ayat Tuhan, baik yang tertulis dalam kitab suci maupun yang terbentang di langit dan bumi, agar nalar dan nurani kita bertemu dalam kesadaran yang tercerahkan.

Penulis: adalah Guru Besar dan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


0 Komentar