Di zaman yang serba cepat ini, komunikasi menjadi pusat dari hampir semua aktivitas manusia. Kita berbicara, mengirim pesan, menulis di media sosial, dan menanggapi berbagai isu hanya dalam hitungan detik. Ironisnya, di tengah begitu banyak cara untuk berkomunikasi, kesalahpahaman justru semakin sering terjadi. Fenomena ini dikenal sebagai miscommunication — ketika kata tersampaikan, tetapi makna tidak sampai; ketika pesan dikirim, tetapi hati tidak saling mengerti.
Hikmah Jum,at, 14 November 2025
Kesalahpahaman ini sering tampak sepele, namun dampaknya sangat besar. Satu kalimat yang disalahartikan bisa memutus persahabatan, mengguncang hubungan kekeluargaan, bahkan menimbulkan konflik di dunia kerja dan masyarakat.
Dalam ruang digital yang tanpa ekspresi dan nada suara, kata yang dimaksudkan lembut bisa terdengar kasar, dan pesan yang diniatkan jujur bisa ditafsirkan sebagai sindiran. Dunia modern yang seharusnya mempererat hubungan manusia justru sering kali membuat kita semakin renggang secara emosional. Namun sejatinya, fenomena miscommunication ini bukan sekadar masalah bahasa, melainkan masalah hati.
Di sinilah Al-Qur’an hadir sebagai sumber hikmah yang menuntun manusia untuk memahami esensi komunikasi yang benar. Salah satu ayat yang memberikan pelajaran mendalam tentang hal ini adalah firman Allah dalam Surah Luqman ayat 18: ”Wa lâ tusha‘‘ir khaddaka lin-nâsi wa lâ tamsyi fil-ardli maraḫâ, innallâha lâ yuḫibbu kulla mukhtâlin fakhûr”.
Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Ayat ini sekilas tampak berbicara tentang etika sosial, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ia mengandung makna filosofis yang sangat relevan dengan problem komunikasi masa kini. “Memalingkan wajah” bukan sekadar tindakan fisik, melainkan simbol dari ketidaksediaan hati untuk mendengar dan memahami. Sedangkan “berjalan dengan angkuh” menggambarkan kesombongan dalam bersikap dan berbahasa — ketika seseorang merasa paling benar, paling tahu, dan tak mau menerima pandangan orang lain.
Dalam komunikasi modern, dua sikap inilah yang sering menjadi akar miscommunication. Banyak orang berbicara bukan untuk dipahami, tetapi untuk memenangkan perdebatan. Kita sering menulis komentar di media sosial bukan untuk berdialog, melainkan untuk membuktikan siapa yang lebih pintar. Akibatnya, percakapan yang seharusnya menjadi ruang bertukar makna berubah menjadi medan pertempuran ego.
Menurut tafsir Al-Misbah, Prof. Dr. Quraish Shihab, bahwa “memalingkan wajah” ditafsirkan tuntunan kepada manusia untuk bersikap rendah hati dalam interaksi sosial, tidak menampakkan wajah sinis atau menolak dialog. Dengan kata lain, ayat ini menegaskan pentingnya komunikasi yang berakar pada empati dan kesadaran hati.
Kesombongan komunikasi dapat muncul dalam banyak bentuk, ada orang yang menolak kritik karena merasa lebih berpengalaman; ada yang berbicara keras hanya untuk menutupi kelemahan argumennya; ada pula yang diam bukan karena bijak, tetapi karena tidak peduli. Semua itu adalah bentuk “pemalingan wajah” — bukan secara fisik, melainkan secara emosional dan spiritual.
Padahal, sebagaimana Luqman menasihati anaknya pada ayat berikutnya, ”Waqshid fî masy-yika waghdludl min shautik, inna angkaral-ashwâti lashautul-ḫamîr”. Dan sederhanakanlah dalam berjalanmu dan lunakkanlah suaramu; sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman: 19). Ayat ini menegaskan bahwa lembutnya suara dan rendahnya hati adalah inti dari komunikasi yang bermakna.
Dalam konteks miscommunication, dua hal ini — kelembutan dan kerendahan hati — menjadi kunci utama. Kesalahpahaman sering kali muncul bukan karena kekurangan kata, tetapi karena kelimpahan ego. Kita sering kali bersifat tergesa-gesa merespons tanpa proses memahami, sering kali memberi penilaian tanpa fokus mendengarkan, dan sering pula menyimpulkan sebelum dialog benar-benar selesai.
Padahal, komunikasi sejati bukanlah tentang siapa yang lebih banyak bicara, tetapi siapa yang lebih banyak memahami.
Nabi Muhammad SAW memberikan teladan mulia dalam hal ini, dalam riwayat yang dipercaya, bahwa beliau berbicara dengan jelas, menggunakan kata-kata yang tepat, dan selalu memperhatikan kondisi serta perasaan lawan bicaranya. Dalam setiap dialog, Rasulullah tidak hanya mendengar dengan telinga, tetapi juga dengan hati. Beliau memahami makna di balik kata, niat di balik kalimat, dan rasa di balik diam. Inilah sesungguhnya bentuk komunikasi yang bukan hanya menghubungkan pikiran, tetapi juga menyentuh jiwa.
Jika kita kaitkan dengan realitas komunikasi di era digital, “memalingkan wajah” bisa berarti tidak peduli pada konteks pesan yang diterima. Kita sering hanya membaca sekilas, lalu bereaksi spontan — terkadang marah, sinis, atau bahkan menyerang balik.
Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang berbagi gagasan, sering berubah menjadi arena kebisingan, tempat setiap orang ingin berbicara, tetapi tak ada yang mau mendengarkan. Kita terbiasa mengetik cepat, tetapi jarang berpikir dalam. Kita mengunggah banyak hal, tetapi jarang merenungkan banyak makna. Akibatnya, dunia yang hiperaktif dalam komunikasi justru miskin dalam pengertian.

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd
Ketika kita berbicara dengan hati yang tulus dan rendah, maka yakinlah bahwa kata-kata itu akan sampai hingga ke relung hati, tetapi ketika kita berbicara dengan niat menonjolkan diri, maka kata-kata itu pasti hanya berputar-putar di udara — tanpa pernah menemukan pijakan maknanya. Inilah yang dimaksud dengan “ketika kata tak lagi bertemu makna.”
Maka, untuk menghindari miscommunication, kita perlu melakukan tiga hal sederhana namun mendalam, yakni berpikir sebelum berbicara, karena kata yang keluar tidak dapat ditarik kembali; mendengar dengan hati—bukan hanya dengan telinga, karena memahami lebih berharga daripada menanggapi cepat; dan menundukkan ego dalam setiap percakapan, karena komunikasi sejati hanya tumbuh dari kerendahan hati.
Di dunia yang serba digital ini, di mana pesan mengalir begitu cepat, marilah kita kembali belajar kepada kebijaksanaan Luqman Hakim; berbicara dengan lembut, mendengar dengan hati, dan menolak kesombongan dalam komunikasi, sebab jika hati sombong, maka setiap kata menjadi jurang; tetapi jika hati rendah, maka setiap kata menjadi jembatan.
Sebagai catatan pinggir, bahwa miscommunication bukanlah kegagalan bahasa, melainkan lebih kepada kegagalan empati. Dan seperti pesan Surah Luqman ayat 18, Allah tidak menyukai orang yang sombong — termasuk dalam caranya berbicara, menulis, dan menyampaikan pesan. Maka marilah kita menjaga kata seperti menjaga hati, tentunya dengan kasih sayang, kejujuran, dan kerendahan diri. Ingatlah, hanya dengan hati yang lembut, kita akan menemukan makna hakiki dari komunikasi, yakni menjadi jembatan kasih sayang di antara manusia.
Penulis: adalah Guru Besar dan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri ( UIN ) Mataram

0 Komentar