Tutup Usia, Tutup Buku, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd


Seluruh perjalanan usia yang kita lewati akan menjadi lembaran-lembaran dari buku kehidupan tentang kita. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita katakan, apa yang kita usahakan, apa yang kita dapatkan, apa yang kita lihat, dan bahkan apa yang kita bayangkan dan khayalkan akan menjadi tulisan yang mengisi lembaran dari buku kehidupan kita.

SETIAP kelahiran manusia di planet bumi sebagai makhluk baru, menjadi lembaran atau buku baru yang Tuhan terbitkan untuk menambah episode kisah perjalanan hidup manusia di bumi. Begitu kita lahir dari rahim ibu, dari saat itulah dimulainya lembaran demi lembaran dari buku kehidupan yang siap untuk ditulis.

Dan untuk bisa memulai menulis lembaran buku kehidupan itu, Tuhan bekali kita dengan pendengaran (Assam’a), penglihatan (Al-Abshara), dan hati (Al-Af’idah). Dengan tiga kemampuan itulah kita bebas menulis apa saja di dalam buku kehidupan itu, tentang rencana, tentang capaian, atau tentang cita-cita sebagai catatan harian (filed note) yang menceritakan tentang diri ini setiap saat, setiap waktu, dan bahkan setiap hari.

Seluruh perjalanan usia yang kita lewati akan menjadi lembaran-lembaran dari buku kehidupan tentang kita. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita katakan, apa yang kita usahakan, apa yang kita dapatkan, apa yang kita lihat, dan bahkan apa yang kita bayangkan dan khayalkan akan menjadi tulisan yang mengisi lembaran dari buku kehidupan kita.

Dalam rentang masa dari kehidupan yang kita jalani, kita diberi kemampuan dan kesempatan oleh Tuhan untuk berkisah tentang diri kita, untuk mengukir cerita tentang diri kita, dan untuk menorehkan perjuangan dalam meraih capaian hidup kita (storytelling). Tanpa kita sadari bahwa lembaran-lembaran buku kehidupan kita akan tertulis dengan rapi, bagaimana kita membuat rencana demi rencana—terarsip dengan teratur, bagaimana perjuangan yang dilakukan dengan peluh kelelahan—tersimpan dengan sangat terstruktur, bagaimana capaian demi capaian—tercatat dengan rapi, hingga bagaimana capaian itu dapat kita nikmati sebagai buah dari perjalanan dan perjuangan yang panjang.       

Kita pasti memimpikan kehidupan yang baik untuk diri dan keluarga dengan menyusun rencana dan tekad yang matang, membuat rencana yang detail, kemudian memulai perjalanan dengan menetapkan tujuan yang jelas, hingga mengorbankan waktu dan materi. 

Dalam perjalanan mengeksekusi semua rencana yang telah tersusun dengan cermat itu, seluruh kemampuan personal, sosial, dan spiritual kita gerakkan, tak sedikit pula tantangan dan rintangan yang mencoba menghadang, namun seiring berjalannya waktu, capaian demi capaian itu dapat kita raih. Itulah sekelumit inti dari perjalanan panjang kehidupan yang kita kisahkan sendiri dalam lembaran-lembaran buku kehidupan kita.

Kita boleh menulis tentang apa saja di dalam buku kehidupan kita masing-masing, entah tentang rencana yang besar, tentang upaya yang melelahkan, atau tentang capaian yang membanggakan, semua lakon kita di samping tercatat juga akan tersimpan dengan segar dalam memori kita, sehingga kapan pun kita bisa kisahkan kembali dengan detail dari setiap kejadian hidup yang kita jalani.

Semua capaian yang telah kita raih dari rencana indah, keterlibatan diri dalam perjuangan panjang secara personal, sosial, dan spiritual, kini menjadi kenangan dan menjadi kisah yang dituturkan oleh orang-orang di belakang kita.

Maka selagi diri ini masih menjadi cerita yang kita kisahkan untuk diri kita sendiri, maka saat melakoni kehidupan di bumi, tulislah dalam lembaran buku kehidupan kita tentang yang baik-baik, kemudian seringlah membacanya kembali sebagaimana Tuhan pesan melalui firman-Nya, “Iqra’ Katabaka”, baca kisah tentang diri yang kita tulis sendiri sejak lembaran baru dimulai tatkala kelahiran kita sebagai makhluk baru di bumi ini. 

Seluruh cerita tentang kehidupan kita yang tertulis lembar demi lembar di dalam buku kehidupan sesuai lakon yang kita jalani, akan menjadi kisah yang akan dibaca dan diceritakan ulang oleh generasi di belakang kita.

Penting kita sadari bahwa tulisan tentang kehidupan kita akan selesai seiring dengan tutupnya usia, dan buku kehidupan itu pun juga tutup. Kita tidak memiliki kemampuan lagi untuk mengisahkan tentang diri kita, tidak mampu lagi menulis tentang kehidupan kita, karena buku kehidupan kita telah habis dan telah tutup. Kita tak lagi menjadi storytelling (pencerita) atas diri kita, namun tatkala tutup usia dan sekaligus tutup buku, maka kitalah yang menjadi materi kisah dari orang-orang di belakang kita.

Semua capaian yang telah kita raih dari rencana indah, keterlibatan diri dalam perjuangan panjang secara personal, sosial, dan spiritual, kini menjadi kenangan dan menjadi kisah yang dituturkan oleh orang-orang di belakang kita. Yang jelas, jika buku kehidupan tentang cerita dan kisah diri ini kita tulisi dengan rencana, usaha, perjuangan, dan capaian yang baik, maka kisah yang terdengar tentang kita tentunya akan baik. 

Sebaliknya, jika buku kehidupan tentang cerita dan kisah diri ini kita tulisi dengan rencana, usaha, perjuangan, dan capaian yang buruk, maka kisah yang terdengar tentang kita tentunya akan buruk.

Maka sebagai iktibar bagi kita yang sedang dan masih memiliki kesempatan menulis kisah tentang diri dalam lembaran buku kehidupan—agar kelak terdengar pantas bagi orang-orang di belakang kita—mari kita renungkan salah satu hadis Rasul saw yang mengajari kita bagaimana seharusnya kita berjuang dalam kehidupan ini. 

“I’mal lidunyaka Ka-annaka Ta’isyu abadan, wa’mal i-akhiratika ka-annaka tamuutu ghadan”. Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.” (HR. Hasan).

Maksud dari kalimat Nabi di atas, bahwa untuk capaian duniawi janganlah memperjuangkannya hingga melampaui batas, namun ingatlah bahwa masih ada hari esok untuk melanjutkan ikhtiar duniawi itu, akan tetapi untuk urusan akhirat berjuang dan berusahalah semaksimal mungkin—tak mengapa melampaui batas, karena esok pagi belum tentu kita masih dapat menjalankannya.

Penulis : adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, NTB



0 Komentar