BidikNews.net - Amelia Achmad Yani, putri ketiga dari Jenderal Anumerta Ahmad Yani, menyimpan luka mendalam akibat tragedi kelam G30S/PKI yang merenggut nyawa sang ayah.
Peristiwa berdarah pada 1 Oktober 1965 itu bukan hanya mencatat sejarah bangsa, tetapi juga meninggalkan trauma panjang bagi keluarganya. Amelia bahkan memilih jalan hidup yang berbeda mengasingkan diri ke sebuah dusun terpencil demi mencari ketenangan jiwa. Tulis Tribunnews.com
Pada tahun 1988, Amelia memutuskan pindah ke Dusun Bawuk, Sleman, Yogyakarta. Saat itu, desa tersebut belum memiliki listrik. Ia hidup sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota, dan menata ulang dirinya setelah diliputi dendam, amarah, dan kebencian akibat tragedi yang menimpa ayahnya.
“Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki. Itu hilang. Di desa, itu hilang,” tuturnya penuh makna
Selama lebih dari 20 tahun, Amelia menjalani kehidupan sebagai seorang warga desa biasa. Ia mengolah sawah, memelihara kolam ikan gurame, menanam pohon buah-buahan seperti mangga, pepaya, dan pisang, hingga beternak ayam walau sering merugi saat berjualan telurnya.
Kehidupan yang penuh kesederhanaan ini justru membuatnya belajar arti keikhlasan. Ia juga akrab dengan para petani, bergaul, dan mengikuti tradisi masyarakat setempat, bahkan sampai mendaki ke Puncak Suryoloyo di Bukit Menoreh pada malam 1 Suro.
Di pedesaan itulah Amelia menemukan kedamaian yang selama ini hilang. Semua luka dan trauma akibat G30S perlahan sembuh. Namun, setelah lebih dari dua dekade, Amelia akhirnya kembali ke Jakarta.
Alasannya sederhana: sang anak merasa tidak cocok lagi hidup di pedesaan, sehingga ia pun meninggalkan dusun yang telah menjadi tempat penyembuhannya.
Kisah Amelia adalah sebuah perjalanan batin: dari kelamnya trauma sejarah menuju cahaya ketenangan melalui kesahajaan hidup di desa.
Pewarta: TIM
0 Komentar