Hari Guru selalu menjadi momen istimewa untuk mengenang sosok yang tak pernah meminta balasan, tetapi pengaruhnya menetap seumur hidup. Di balik profesi ini, tersimpan kisah cinta paling sunyi, pengorbanan paling tulus, dan perjalanan batin yang sering kali tak terlihat. 
Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Mataram
GURU bukan hanya pengajar, tetapi penjaga cahaya dalam diri setiap manusia. Mereka hadir sebagai lambang kasih sayang, sosok yang dirindukan, cahaya dalam kesunyian, dan sekaligus bagian dari upaya merawat semesta. Empat gagasan ini, jika ditenun dengan lembut, menghadirkan makna mendalam tentang mengapa profesi guru begitu mulia dan tak tergantikan.
Di era serba digital, ketika manusia makin sering tenggelam dalam kecanggihan teknologi dan hiruk pikuk informasi, guru tetap menjadi simbol kehangatan, tidak ada teknologi yang dapat sepenuhnya menggantikan belaian kata-kata seorang guru, tatapan yang penuh perhatian, ataupun senyum yang menenangkan hati murid-muridnya. Pada titik inilah guru menjadi lambang cinta dan kasih sayang.
Cinta seorang guru bukanlah cinta yang bersyarat, ia tak mengharapkan balasan, tak menunggu penghargaan. Cinta guru hadir dalam bentuk paling sederhana—ketika ia menyediakan telinga untuk mendengar keluh kesah, ketika ia merelakan waktu istirahat untuk membantu murid memahami pelajaran, atau ketika ia tetap mengajar meskipun dirinya sedang dibebani persoalan hidup. Kasih sayang guru sejatinya adalah cinta yang terus memberi tanpa pernah meminta kembali.
Cinta semacam ini yang menjadikan guru sebagai figur penting dalam perkembangan karakter generasi bangsa. Melalui cinta, guru mentransfer nilai, bukan hanya pengetahuan. Melalui kasih sayang, guru membentuk pribadi yang matang, bukan sekadar siswa yang pandai menjawab soal. Guru mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan integritas melalui tindakan-tindakan kecil yang terlihat sederhana tetapi memiliki jejak panjang dalam kehidupan para muridnya.
Ada satu hal unik tentang guru: mereka mungkin tidak selalu hadir dalam perjalanan hidup seseorang, tetapi kehadirannya membekas abadi. Banyak orang dewasa mengenang kembali figur guru yang mengubah hidup mereka, meskipun pertemuan itu telah berlalu puluhan tahun. Mengapa demikian? Karena guru bukan hanya mengajar, tetapi menyentuh bagian terdalam dari diri manusia, yakni jiwa.
Jika ada statemen tentang guru yang dirindukan, itu karena memang dia pernah menjadi tempat pulang dari rasa takut seorang murid. Ia hadir sebagai penguat ketika seorang anak merasa tidak mampu. Ia menjadi orang dewasa pertama yang percaya bahwa si anak bisa melampaui batas yang ia buat sendiri. Kerinduan itu bukan berasal dari wajah atau suaranya, tetapi dari energi positif yang ia tanamkan. Saat siswa dulu duduk di bangku kelas, mereka mungkin tidak menyadarinya, tetapi ketika telah dewasa, ketika hidup menampar keras, ketika dunia terasa asing, barulah mereka merindukan kata-kata lembut guru yang pernah terucap: “Kamu pasti bisa.” Kalimat sederhana itu berubah menjadi jangkar harapan dalam badai kehidupan.
Guru adalah rumah emosional bagi banyak orang yang selalu dirindukan, karena dari merekalah kita pertama kali belajar merasa aman dalam kebingungan, percaya diri dalam ketakutan, dan berani dalam keraguan. Di balik ruang kelas yang sederhana, guru menghadirkan tempat pulang bagi jiwa yang lelah—sebuah ruang batin di mana nasihat menjadi penguat, senyum menjadi penerang, dan perhatian menjadi pelukan yang tak terlihat. Ketika kita tumbuh dewasa dan dunia semakin bising, justru keteduhan seorang guru yang dulu pernah menguatkan kita datang kembali sebagai rindu yang paling sunyi. Bukan rindu pada sosoknya semata, tetapi pada perasaan diterima, didengar, dan diyakinkan bahwa kita mampu.
Kondisi yang senyatanya pada siswa, bahwa kehidupan murid tidak selalu cerah, ada anak-anak yang datang ke sekolah membawa luka dari rumah, ada yang memendam kecemasan, ketakutan, atau bahkan kehilangan rasa percaya diri. Di tengah kesunyian emosional inilah guru hadir sebagai lentera yang menuntun mereka keluar dari kegelapan.
Guru sering kali menjadi orang pertama yang menyadari ketika seorang murid kehilangan semangat. Ia melihat sorot mata yang meredup, perubahan perilaku, atau tugas yang tak lagi dikerjakan dengan antusias. Dengan kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman dan rasa empati, guru datang sebagai cahaya—bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami.
Dalam banyak kasus, seorang guru mampu mengubah masa depan seorang anak hanya dengan perhatian kecil. Bagi murid yang mengalami kesunyian batin, satu kalimat penguatan dapat menjadi titik balik hidupnya. Guru bukan hanya penyampai materi; ia adalah penjaga harapan. Ia merangkul hati yang patah, menenun kembali kepercayaan diri yang robek, dan membangunkan mimpi-mimpi yang tertidur.
Dalam dunia pendidikan, ada banyak bentuk cahaya. Tetapi cahaya yang paling jernih adalah bimbingan seorang guru dalam kesenyapan, ketika ia menuntun tanpa diketahui, menerangi tanpa mengumumkan, dan memberi tanpa menuntut balasan.
Ada frase “Guru merawat semesta dengan cinta” mungkin terdengar puitis, tetapi maknanya justru sangat nyata dalam kehidupan seorang guru. Semesta dalam konteks ini bukan hanya alam raya, tetapi seluruh jagat kecil yang ada di kelas: pikiran, sikap, harapan, dan masa depan murid-murid.
Dengan cinta, guru menata peradaban, ia merawat semesta kecil bernama anak manusia—yang kelak akan menjadi pemimpin, ilmuwan, seniman, ulama, atau bahkan guru bagi generasi berikutnya. Tugas guru adalah memastikan bahwa semesta kecil ini tetap subur di hati muridnya: subur dalam moralitas, kesantunan, empati, dan keadaban.
Guru merawat semesta dengan kesabaran yang luar biasa, ia mengulang penjelasan berkali-kali tanpa keluh, memperbaiki kesalahan murid dengan senyum, ia mengajarkan nilai kejujuran, meski dunia di luar sering memperlihatkan sebaliknya, ia menanamkan cinta pada lingkungan, pada sesama, pada bumi, bahkan pada ilmu itu sendiri.
Dalam pandangan yang lebih filosofis, guru adalah penjaga keseimbangan kosmik. Ia tidak hanya mencerdaskan kepala, tetapi juga menghaluskan nurani. Ketika seorang guru mendidik dengan cinta, ia sedang ikut menjaga keselarasan semesta: melahirkan manusia-manusia yang berpikir jernih, berperilaku lembut, dan menjaga bumi dengan penuh tanggung jawab.
Inilah mengapa profesi guru bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan jiwa. Guru bukan hanya mengajarkan huruf, tetapi juga kehidupan. Ia bukan hanya merawat kelas, tetapi merawat dunia. Dan di hari guru ini kita sesungguhnya diingatkan bahwa pendidikan tidak hanya dibangun oleh kurikulum, metode, atau teknologi, akan tetapi pendidikan tumbuh dari cinta dari wajah dan hati seorang guru.
Sebagai catatan pinggir, bahwa mengapresiasi guru bukan hanya memberikan ucapan selamat, tetapi dengan merawat nilai-nilai yang sudah mereka tanamkan. Karena sejatinya, setiap guru ada dalam diri setiap murid: dalam cara berbicara, bersikap, berpikir, dan mencintai kehidupan. Selamat Hari Guru buat semua guruku yang menjadi cahaya fajar yang selalu memancarkan sinar optimisme. Tinta yang kau torehkan lebih mulia dari darahnya para suhada’. Demikian Al Ghazali memberikan penghormatan dan penghargaan kepada para guru.
Penulis: adalah Dekan Fakultas Tarboiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri-UIN Mataram



0 Komentar