Ketika Alam Tidak Lagi Bersahabat: Pelajaran Ekoteologi dari Bencana yang Melanda Negeri, Oleh Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

                                                                                                Hikmah Jum`at, 5 Desember 2025
Ada lirik lagu dari Ebid G AD yang bunyinya: ”Mungkin alam mulai bosan melihat tingkah kita.” Kalimat sederhana ini terasa seperti pukulan batin ketika melihat apa yang sedang terjadi di beberapa wilayah di negeri kita hari ini—banjir bandang, longsor, dan gelombang cuaca ekstrem yang datang berturut-turut. Seakan-akan alam, yang selama ini diam dan sabar, akhirnya menunjukkan wajah letihnya kepada kita. Bukan karena alam pendendam, tetapi karena manusia terlalu lama memperlakukannya sebagai objek eksploitasi tanpa batas. 

KETIKA hutan dirusak, sungai dipaksa menelan sampah, dan tanah dipaksa menopang beban yang tidak sanggup ia pikul, wajar jika alam merespon dengan bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mau merenung—bahwa bencana adalah peringatan, bukan sekadar peristiwa. Dan di balik peringatan itu, ada pesan moral yang terus bergema—bahwa kita tidak bisa lagi hidup sembrono, atau Tuhan akan mempergilirkan peringatan serupa ke seluruh negeri.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, di beberapa wilayah negeri kembali diguncang rangkaian bencana alam—banjir bandang, longsor, hingga puting beliung yang menghentak kesadaran. Air meninggi lebih cepat dari biasanya, tanah bergerak tanpa memberi tanda, dan langit yang dahulu teduh kini kerap menumpahkan amarahnya dalam hujan yang tak terkira. 

Bencana ini seolah ingin berbisik kepada manusia bahwa alam sedang berada di titik kesabaran terakhir. Bahwa harmoni lama telah retak, dan ketidakseimbangan yang kita ciptakan mulai menagih konsekuensi.

Fenomena ini bukan sekadar gejala meteorologis, namun ia adalah tanda bahwa alam sudah tidak lagi bersahabat dengan kita. Dalam perspektif ekoteologi, bencana bukan hanya peristiwa fisik, melainkan juga “bahasa spiritual” alam, yang mempertegas bahwa manusia sedang gagal membaca ayat-ayat Tuhan yang terhampar pada lingkungan. 

Ekoteologi mengajarkan bahwa alam bukan benda mati yang boleh diperas, dilukai, kemudian dibuang. Ia adalah makhluk Tuhan yang memiliki martabat, ritme, dan kehendak ekologisnya sendiri. Ketika kehendak ini dilanggar, ketika keserakahan mengalahkan kebijaksanaan, maka alam merespon dengan cara yang menyakitkan.

Banjir bandang di Aceh dan longsor di Sumatera Barat, serta bencana alam lainnya yang merayap di sepanjang daratan negeri bukanlah kejadian tunggal yang berdiri sendiri. Banyak di antaranya merupakan akibat langsung dari penggundulan hutan, perusakan daerah aliran sungai, pembangunan yang tidak memerhatikan kontur dan daya dukung tanah, serta kerakusan industri yang mengabaikan aspek keberlanjutan.

Hutan-hutan yang dulu tebal kini makin menipis, bahkan gundul. Bukit yang dahulu mengikat tanah kini terbuka, rapuh, dan mudah longsor. Sungai yang dulu jernih kini keruh oleh sedimentasi. Ketika hujan turun, air tidak lagi punya tempat untuk terserap, ia akhirnya meluncur deras, mencari ruang, dan pada akhirnya meluap—menjadi ancaman bagi siapa saja yang berada di jalurnya.

Pada titik ini, kita menyadari satu hal yang pahit: manusia bukan lagi pengelola alam, tetapi perusak yang sedang memetik buah dari perbuatannya sendiri. (Baca QS. Ar Rum ayat 41).

Dalam Al-Qur’an, alam dilukiskan sebagai ayat, tanda-tanda kebesaran Tuhan. Hujan, angin, gunung, lautan, semuanya adalah bagian dari kitab besar yang harus dibaca manusia. Ketika terjadi bencana, bukan berarti Tuhan marah secara buta, tetapi manusia sedang diperlihatkan refleksi dari tindakannya sendiri.

Ekoteologi mengingatkan bahwa kerusakan ekologis adalah bentuk ketidaktaatan spiritual, karena manusia diperintahkan untuk menjaga bumi, bukan merusaknya. Alam adalah partner moral manusia, kita tidak hidup di atas alam, tetapi bersama alam. Bencana adalah teguran etis, sebuah panggilan untuk kembali kepada keseimbangan kosmik.

Dalam perspektif inilah kita melihat bencana alam yang kini terjadi sesungguhnya sedang berada di ambang titik genting. Alam sedang mengirimkan ”signal peringatan keras”, bahwa keseimbangan ekologis telah terganggu dan sedang berada pada level yang berbahaya.

Salah satu pelajaran besar dari sejarah bencana di Indonesia adalah sifatnya yang selalu bergilir. Dulu Aceh dilanda tsunami dahsyat, lalu beberapa tahun kemudian giliran Padang, setelah itu Lombok, Palu, NTT, Jawa Barat, dan kini Aceh–Sumatera kembali diterpa.

Pergiliran ini menunjukkan bahwa ketika satu bagian pulau mengalami tekanan ekologis, wilayah lain mengalami hal yang sama. Indonesia berada pada cincin api dan jalur bencana, tetapi faktor manusianya yang dominan mempercepat intensitasnya.

Karena itu, pesan moralnya sangat jelas dan tegas, jika kita terus sembrono—merusak hutan, membiarkan sungai mati, membangun tanpa etika lingkungan—maka bencana yang menimpa Aceh dan Sumatera hari ini tidak menutup kemungkinan akan berpindah tempat ke belahan pulau lainnya, bahkan ke seluruh Indonesia. Tidak ada wilayah yang aman ketika seluruh negeri hidup dalam ketidaktaatan ekologis.

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd 
Bencana tidak pernah memilih wilayah berdasarkan nasib; ia bergerak mengikuti jejak kesalahan manusia. Maka ada beberapa sikap moral yang bisa kita jadikan pegangan:

Pertama, Kembalikan hutan sebagai ruang suci ekologis. Hutan bukan sekadar kumpulan pepohonan, tetapi “ruang suci” tempat bumi bernapas. Ketika hutan hilang, ekosistem kehilangan penyangga utamanya: air mengalir tak terkendali, tanah menjadi rapuh, dan iklim lokal berubah. Karena itu, reboisasi tidak boleh dilihat sebagai proyek rutin tahunan yang selesai dengan menanam bibit. Ia harus menjadi ibadah ekologis, sebuah kesadaran spiritual bahwa menjaga hutan sama dengan menjaga rahmat Tuhan yang menumbuhkan kehidupan. Menanam pohon berarti memulihkan harmoni kosmik yang pernah kita rusak.

Kedua, Mulailah kita membangun sistem pengelolaan air yang berkeadilan. Air adalah hak semua makhluk: manusia, hewan, tumbuhan, bahkan tanah. Karena itu, pengelolaan air harus adil—tidak boleh dikuasai oleh kelompok tertentu atau dicemari oleh limbah rumah tangga dan industri. Sungai bukan tempat sampah raksasa, tetapi jalur kehidupan yang membawa keberkahan. Ketika sungai dibiarkan mati, sebenarnya kita sedang memutus urat nadi peradaban. Menghormati air berarti memastikan seluruh makhluk mendapatkan bagiannya secara layak, bersih, dan berkelanjutan.

Ketiga, Mulailah untuk sadar dalam mendirikan bangunan dengan tuntunan nurani ekologis. Pembangunan bukan perlombaan mendirikan beton, tetapi seni menempatkan manusia dalam lanskap alam tanpa merusaknya. Setiap bangunan seharusnya menyesuaikan diri dengan kontur tanah, arah angin, daya dukung lingkungan, dan ruang hijau yang tersedia. Jika alam dipaksa mengikuti kehendak manusia, bencana hanyalah soal waktu. Sebaliknya, pembangunan yang berlandaskan nurani ekologis akan menghasilkan ruang hidup yang selaras—kuat terhadap bencana, sehat bagi penghuninya, dan ramah bagi generasi mendatang.

Keempat, Hidupkan kembali kearifan lokal. Setiap daerah memiliki aturan adat yang ketat tentang hutan, air, dan tanah. Mereka mengenal larangan menebang pohon sembarangan, zonasi hutan adat atau hutan larangan, tata cara membuka ladang, hingga aturan adat tentang sungai. Kearifan ini bukan romantisme masa lalu; ia adalah pengetahuan ekologis yang lahir dari pengalaman ratusan tahun lamanya. Ketika kearifan lokal dipulihkan, kita sebenarnya sedang memulihkan “kompas moral ekologis” yang hilang akibat modernisasi.

Kelima, Tanam rasa takut yang sehat kepada Tuhan. Dalam konteks ekologi, takut kepada Tuhan berarti takut melukai ciptaan-Nya—takut menebang berlebihan, takut mengotori sungai, takut merusak tanah. Ketakutan yang sehat ini menjadi rem moral agar manusia tidak menyakiti alam demi ambisi sesaat. Ketika rasa takut ini hidup, manusia akan bertindak bijaksana, penuh pertimbangan, dan sadar bahwa setiap tindakan ekologis akan dipertanggungjawabkan.

Sebagai catatan pinggir, saatnya kita memulai untuk sadar bahwa bumi ini adalah oikos, rumah bersama; manusia dan makhluk lain. jika kita menjaga bumi, maka yakinlah bumi akan kembali menjadi sahabat yang setia. Namun jika kita terus mengkhianati amanah ekologinya, maka Tuhan akan mempergilirkan bencana dari satu wilayah ke wilayah lain—hingga manusia sadar bahwa keserakahan tidak pernah membawa keselamatan.

Alam tidak sedang menghukum, tetapi ia sedang mengajari kita tentang pentingnya keseimbangan dan hidup berkelanjutan. Tinggal kita yang harus memilih: belajar dengan penuh kesadaran, atau mengulang kesalahan hingga pelajaran itu datang dalam bentuk yang jauh lebih menyakitkan.

Penulis: adalah Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Mataram


0 Komentar