Sekda Bukan Sekadar Jabatan, Melainkan Arah Moral Birokrasi, Oleh: Aldo el-Haz Kaffa

Foto: Repro BidikNews.net

Seleksi Sekretaris Daerah (sekda) Provinsi Nusa Tenggara Barat 2025 sejatinya bukan sekadar peristiwa administratif rutin. Ia adalah momentum etis dan strategis: tentang ke mana arah birokrasi NTB hendak dibawa, tentang nilai apa yang ingin ditegakkan, dan tentang standar kepemimpinan seperti apa yang pantas menjadi wajah pemerintahan daerah.

Sekda bukan hanya pejabat tertinggi ASN di daerah. Ia adalah poros koordinasi, penjaga ritme kebijakan, dan penentu iklim kerja birokrasi. Karena itu, menilai Sekda hanya dari kecakapan teknis dan kelengkapan administrasi adalah kekeliruan mendasar. Yang lebih utama justru integritas, keteladanan, dan kebersihan rekam jejak. Di titik inilah publik berhak bersuara—bukan untuk menghakimi, melainkan menjaga kewarasan sistem.

Seleksi Terbuka: Benar, Tapi Tidak Cukup

Seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Madya adalah kemajuan penting dalam reformasi birokrasi. Proses yang melibatkan Panitia Seleksi independen, asesmen BKN, dan mekanisme berlapis adalah fondasi meritokrasi yang patut diapresiasi. Namun harus disadari, prosedur yang sah belum tentu melahirkan kepemimpinan yang tepat, jika tidak disertai keberanian moral dalam mengambil keputusan akhir. 

Asesmen BKN Mengukur Kompetensi. Pansel Menyaring Kapasitas. Tetapi keputusan akhir menyangkut integritas dan kepercayaan publik—dan itu tidak selalu bisa ditangkap oleh instrumen tes semata.

Tentang Rekam Jejak dan Etika Kepatutan

Isu mengenai kandidat yang berulang kali dipanggil aparat penegak hukum—meski berstatus saksi dan belum ditetapkan tersangka—tidak bisa dipandang remeh dalam konteks jabatan Sekda. Ini bukan soal asas praduga tak bersalah yang harus tetap dihormati. Itu prinsip hukum. Tetapi jabatan Sekda bekerja pada ranah kepercayaan publik, bukan semata-mata pembuktian pidana.

Dalam etika pemerintahan modern, dikenal prinsip clean and proper, bukan sekadar legal or illegal. Artinya: boleh jadi seseorang tidak bersalah secara hukum, tetapi belum tentu layak secara etik untuk menjadi wajah tertinggi birokrasi. Sekda yang setiap saat harus memberi arahan moral kepada ribuan ASN, tidak boleh berada dalam bayang-bayang polemik hukum, sekecil apa pun itu. Birokrasi membutuhkan ketenangan, bukan kegamangan.

Sekda Lokal vs Sekda dari Luar: Soal Konteks, Bukan Sentimen

Masuknya kandidat dari luar NTB adalah sah dan konstitusional. Meritokrasi memang tidak mengenal batas geografis. Namun ada satu hal yang tak boleh diabaikan: pemahaman konteks sosial, kultural, dan psikologi birokrasi daerah.

NTB bukan hanya wilayah administratif, tetapi ruang sosial dengan karakter, sejarah, dan sensitivitas sendiri. Sekda harus mampu membaca denyut itu—bukan sekadar mengelola angka, dokumen, dan laporan. Maka, pertanyaan yang relevan bukan “lokal atau luar”, melainkan: siapa yang paling mampu menyatukan birokrasi, siapa yang paling minim resistensi, dan siapa yang paling cepat bekerja tanpa menimbulkan kegaduhan internal.

Gubernur di Titik Penentu Sejarah

Pada akhirnya, tanggung jawab moral terbesar ada pada Gubernur NTB. Regulasi memang memberi ruang memilih satu dari tiga nama. Tetapi sejarah akan mencatat mengapa pilihan itu diambil, bukan sekadar bagaimana prosedurnya dipenuhi.

Gubernur tidak sedang memilih pembantu biasa, melainkan mitra strategis pemerintahan. Salah memilih Sekda berarti: birokrasi tersendat, kebijakan kehilangan daya, dan kepercayaan publik tergerus perlahan. Sebaliknya, memilih Sekda yang bersih, kuat, dan diterima luas akan menjadi warisan kepemimpinan yang jauh melampaui satu periode jabatan.

Saran dan Masukan demi Tim Kerja yang Tepat

Beberapa catatan konstruktif patut dipertimbangkan: 
1.Utamakan integritas di atas kecerdasan teknokratis 
2.Pintar bisa dilatih, tetapi bersih dan jujur adalah karakter. 
3.Hindari kandidat yang berpotensi menjadi beban psikologis birokrasi
4.Sekda harus menjadi solusi, bukan sumber kegelisahan. 
5.Bangun tim kerja yang solid, bukan sekadar kuat di atas kertas
6.Pemerintahan butuh harmoni kerja, bukan hanya CV mengkilap.
7.Dengarkan suara publik sebagai early warning system 
8.Kritik publik sering kali bukan niat buruk, melainkan alarm dini.

Sekda sebagai Simbol Arah

Sekda adalah simbol: apakah NTB ingin birokrasi yang bersih dan berwibawa, atau sekadar birokrasi yang patuh prosedur namun miskin keteladanan. Momentum ini terlalu penting untuk diserahkan pada logika aman dan kompromi jangka pendek. 

Yang dibutuhkan adalah keberanian memilih yang benar, bukan sekadar yang memungkinkan. Karena pada akhirnya, pemerintahan yang kuat lahir dari tim kerja yang tepat, dan tim kerja yang tepat hanya mungkin lahir dari keputusan yang jujur, bersih, dan berintegritas. Barokallahu fiikum.

Penulis: adalah : Sekretaris PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi NTB


0 Komentar